ASAL USUL ISLAM
Oleh: Asghar Ali Engineer
Suatu
agama, baik yang mengaku sebagai agama wahyu maupun tidak, tidak bisa lepas
dari pengaruh situasi asal-usulnya yang kompleks. Adanya campur tangan Tuhan
sekalipun, tidak
bisa terlepas dari pengaruh-pengaruh ini. Teologi Islam,
sebagaimana dinyatakan oleh Al-Qur'an, tidak mengenal konsep campur tangan
Tuhan yang semena-mena, bahkan dalam teologi Asy'ariah sekalipun. Pernyataan
Al-Qur'an dalam masalah ini sangat jelas. "Kamu tidak akan pernah
menemukan perubahan apa pun pada sunnah Allah".1 Bahkan
pahala dan siksa Tuhan, berbeda dengan teologi Calvinis, bukan atas dasar
tindakan Tuhan yang semena-mena. Al-Qur'an menyatakan, "Tidak ada
sesuatu pun bagi manusia, kecuali apa yang diupayakan".2
Tentu
saja, petunjuk Allah (taufiq min Allah)
tidak
ditolak, tetapi petunjuk Allah itu, sepanjang perhatian teologi Al-Qur'an,
tidaklah bersifat semena-mena. Taufiq (petunjuk Allah) dalam teologi Islam
sesungguhnya merupakan potensi untuk bertindak yang diciptakan Tuhan, yang
masih mempunyai kemungkinan dapat atau tidak dapat diaktualisasikan, karena
manusia adalah "agen" yang bebas.
Proses
historis juga sangat diperlukan dalam Islam. Sejarah bukanlah mitos, bukan pula
suatu proyek arbitrer yang sama sekali tidak mempunyai kausalitas sosial.
Al-Qur'an memang mempunyai pendekatan teleologis sebagaimana kisah
nabi-nabi Israel yang diceritakan dengan penggambaran yang jelas, tetapi
kausalitas tidaklah diabaikan begitu saja. Kemurkaan Allah kepada suatu bangsa
atau seseorang diberlakukan ketika mereka mengabaikan proses kausalitas sosial
dan berbuat menyimpang dari sunnah-Nya, baik secara fisik (hukum alam)
maupun moral (hukum-hukum etik yang mengacu pada hudud Allah dalam
Al-Qur'an). Al-Qur'an menyatakan: "Telah banyak negeri yang Kuhancurkan
ketika warganya melakukan kezaliman. Maka reruntuhannya menimpa atap-atapnya,
dan bagaimana telaga dan gedung-gedung (mereka tinggalkan)."3
Dan
lagi, "Dan banyak negeri yang aku biarkan, sementara warganya berbuat
zalim, lalu setelah sampai waktunya, Aku kenakan siksa bagi mereka..."4
Dengan
demikian kita melihat bahwa teologi Islam, sebagaimana dinyatakan Al-Qur'an,
sama sekali tidak mengabaikan determinisme sejarah,5
tetapi
sebaliknya, secara serius memperhatikan peristiwa sejarah serta
pengaruh-pengaruhnya yang menentukan. Islam juga mencoba menanmkan kesadaran
sejarah pada umatnya. Al-Qur'an berkata: "Apakah mereka tidak pernah
melakukan penjelajahan di muka bumi? Mereka mempunyai hati yang dengannya
mereka dapat memahami, dan mempunyai telinga yang dengannya mereka dapat
mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta
adalah mata-hati yang ada di dalam dada."6
Apa
yang dinyatakan secara jelas adalah bahwa kesadaran yang tepat diperlukan untuk
memahami sesuatu dan mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa sejarah, dan
bukan semata-mata persepsi inderawi yang dimiliki setiap orang.
Sebelum
kita membahas lebih lanjut asal-usul Islam, kiranya kita perlu memahami istilah
"determinisme sejarah" dengan tepat. Hal ini tidak lain untuk
menghindari kesalahpahaman. Istilah ini tidak menafikan lingkup yang sah bagi
inisiatif manusia yang bagaimanapun sesuai dengan persepsi manusia tentang
tujuan ilahiyah.7
Menjelang
dewasa, Nabi menemukan situasi yang sangat kacau di Mekkah, tempat Islam
dilahirkan. Seorang yang berperilaku jujur, yang memperoleh gelar Al-Amin,
tentulah sangat gelisah melihat situasi yang ada di hadapannya, dan mencari
jalan keluarnya. Seorang yang sangat rendah hati tapi berhati dan berotak luar
biasa cerdas, mulai mencari jalan keluar yang kemudian menuntunnya untuk
menyendiri di gua Hira, di sebuah pegunungan berbatu di luar kota Mekkah.
Muhammad, Nabi Islam itu, setelah melewati hari-hari meditasi dalam
kesendiriannya di gua, akhirnya memperoleh cahaya wahyu Tuhan. Wahyu, secara
essensial, berwatak religius, namun tetap menaruh perhatian pada situasi yang
ada serta memiliki kesadaran sejarah. Ayat-ayat pertama Al-Qur'an yang
diwahyukan kepada Nabi, sebagaimana nanti akan kita lihat, mengungkapkan
keprihatinan yang mendalam terhadap situasi yang terjadi di Mekkah.
Lalu,
bagaimana situasi Mekkah ketika itu? Mekkah sejak akhir abad kelima telah
berkembang menjadi pusat perdagangan yang penting. "Mekkah menjadi makmur,
karena lokasinya berada pada rute strategis dan menguntungkan dari Arabia Utara
ke Arabia Selatan; Mekkah menjadi jalur utama perdagangan dan menjadi pusat
pertemuan para pedagang dari kawasan Laut Tengah, Teluk Parsi, Laut Merah
melalui Jeddah, bahkan dari Afrika.8
Dengan
demikian Mekkah berkembang menjadi pusat keuangan dari kepentingan
internasional yang besar. Karena itu, bersamaan dengan berkembangnya
perdagangan dan peredaran uang, suatu pandangan hidup dan cara pandang baru pun
muncul, meskipun belum dinyatakan secara sadar dan tepat. Kerja komersial tentu
mempunyai logikanya sendiri dan mengarahkan masyarakat pada suatu cara hidup
tertentu. Dinamika sosial dalam masyarakat Mekkah yang seperti itu mengarahkan
pada suatu kehidupan yang tidak selaras dengan kehidupan masyarakat yang
beralaskan norma-norma kesukuan.
Pada pasir di sekitar Mekkah yang tak bersahabat membuat beberapa suku merasa tenang hidup di Mekkah. Namun, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi perdagangan yang sangat cepat, biaya kehidupan di Mekkah menjadi masalah baru bagi suku-suku itu. Orang-orang Baduy itu mempunyai cara pandang dan etika kesukuan tertentu, misalnya watak egalitarian. Mereka terbiasa bebas dari semua bentuk tanggungjawab kecuali sebatas apa yang menyangkut suku mereka. Suku-suku padang pasir itu hidup nomadik, karena itu tidak banyak mengembangkan tradisi pemilikan pribadi kecuali sebatas hewan peliharaan dan persenjataan ringan. Kebutuhan-kebutuhan mereka pun sangat sederhana sekedar untuk melangsungkan kehidupan dan ditandai tidak adanya ekonomi uang (cash economy). Oleh karena itu, masalah akumulasi dan pemusatan kekayaan, tidak muncul.
Pada pasir di sekitar Mekkah yang tak bersahabat membuat beberapa suku merasa tenang hidup di Mekkah. Namun, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi perdagangan yang sangat cepat, biaya kehidupan di Mekkah menjadi masalah baru bagi suku-suku itu. Orang-orang Baduy itu mempunyai cara pandang dan etika kesukuan tertentu, misalnya watak egalitarian. Mereka terbiasa bebas dari semua bentuk tanggungjawab kecuali sebatas apa yang menyangkut suku mereka. Suku-suku padang pasir itu hidup nomadik, karena itu tidak banyak mengembangkan tradisi pemilikan pribadi kecuali sebatas hewan peliharaan dan persenjataan ringan. Kebutuhan-kebutuhan mereka pun sangat sederhana sekedar untuk melangsungkan kehidupan dan ditandai tidak adanya ekonomi uang (cash economy). Oleh karena itu, masalah akumulasi dan pemusatan kekayaan, tidak muncul.
Di
satu sisi, masyarakat pedagang (yang berdasar pada sirkulasi produk, bukan pada
produksinya), tergantung pada perluasan ekonomi uang. Masyarakat ini
mengembangkan lembaga-lembaga pemilikan pribadi, memperbanyak keuntungan,
menumuhkan disparitas ekonomi dan pemusatan kekayaan. Etika masyarakat
perdagangan itu tentu saja bertabrakan dengan etika masyarakat kesukuan.
Kebangkrutan sosial di Mekkah, sesungguhnya berakar pada konflik-konflik ini. Karena
cepatnya perkembangan operasi perdagangan, beberapa pedagang yang memiliki
keahlian yang berasal dari berbagai klan dan suku, terus menerus memperbanyak
kekayaan pribadinya. Bahkan mereka membentuk korporasi bisnis antar-suku dan
menerapkan monopoli pada kawasan bisnis tertentu di tempat asal mereka.
Orang-orang lemah dan tersingkir dari persaingan bebas ini mencoba membentuk
asosiasi yang mereka sebut Hilf al-Fudul (Liga Orang-orang Tulus).
Nabi
tergabung dalam Liga ini dan selalu merasa bangga dengan persekutuannya dengan
Liga tersebut. Berbagai penjelasan telah ditawarkan untuk pembentukan Liga ini.9
Demikian
pula orang-orang miskin, lemah, terlantar dan tak terlindungi yang terjebak
dalam proses sosial yang tak terelakkan itu merebak di pinggiran kota
perdagangan Mekkah. Dalam struktur masyarakat kesukuan, hancurnya struktur
masyarakat kesukuan di Mekkah bertanggungjawab terhadap terbukanya pintu
ketegangan sosial.10
Sementara
itu, monopoli perdagangan sedang muncul di Mekkah.11
Agama apapun, sebagaimana telah dinyatakan di muka, membawa ciri-ciri asal-usul kelahirannya, sekalipun agama itu agama wahyu. Ajaran Islam sebagaimana dinyatakan di dalam Al-Qur'an, tanpa pengecualian juga terkena hukum ini. Tuhan menjanjikan dalam Al-Qur'an untuk mengutus seorang pembimbing atau seorang pemberi peringatan ketika suatu masyarakat menghadapi krisis sosial dan krisis moral. Muhammad dipilih sebagai instrumen kemahabijaksanaan Tuhan untuk membimbing dan membebaskan rakyat Arabia dari krisis moral dan sosial yang lahir dari penumpukkan kekayaan yang berlebih-lebihan sehingga menyebabkan kebangkrutan sosial. Islam bangkit dalam setting sosial Mekkah, sebagai sebuah gerakan keagamaan, namun lebh dari itu, ia sesungguhnya sebuah gerakan transformasi dengan implikasi sosial ekonomi yang sangat mendalam. Islam, dengan kata lain, menjadi tantangan serius bagi kaum monopolis Mekkah.
Agama apapun, sebagaimana telah dinyatakan di muka, membawa ciri-ciri asal-usul kelahirannya, sekalipun agama itu agama wahyu. Ajaran Islam sebagaimana dinyatakan di dalam Al-Qur'an, tanpa pengecualian juga terkena hukum ini. Tuhan menjanjikan dalam Al-Qur'an untuk mengutus seorang pembimbing atau seorang pemberi peringatan ketika suatu masyarakat menghadapi krisis sosial dan krisis moral. Muhammad dipilih sebagai instrumen kemahabijaksanaan Tuhan untuk membimbing dan membebaskan rakyat Arabia dari krisis moral dan sosial yang lahir dari penumpukkan kekayaan yang berlebih-lebihan sehingga menyebabkan kebangkrutan sosial. Islam bangkit dalam setting sosial Mekkah, sebagai sebuah gerakan keagamaan, namun lebh dari itu, ia sesungguhnya sebuah gerakan transformasi dengan implikasi sosial ekonomi yang sangat mendalam. Islam, dengan kata lain, menjadi tantangan serius bagi kaum monopolis Mekkah.
Harus
dicatat, kaum hartawan Mekkah, bukan tidak mau menerima ajaran-ajaran keagamaan
Nabi--sebatas ajaran-ajaran tentang penyembahan kepada satu Tuhan (Tauhid). Hal
itu bukanlah sesuatu yang merisaukan mereka. Yang merisaukan mereka justru
implikasi-implikasi sosial-ekonomi dari risalah Nabi itu. Seperti diketahui, di
sana telah berkembang kepentingan ekonomi perdagangan yang sangat kuat. Mereka
semuanya merasakan bahwa di dalam risalah Nabi terdapat suatu yang mengancam
kepentingan mereka, yakni kepentingan akumulasi kekayaan yang selama ini
berjalan tanpa rintangan. Namun sekarang ayat-ayat Al-Qur'an mencela penumpukan
kekayaan itu. Salah satu ayat yang diturunkan di Mekkah pada awal-awal Islam
mengatakan: "Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela, yang
mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa harta itu dapat
mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan
dilemparkan ke dalam Huthomah. Dan tahukan kamu Huthomah itu? (yaitu) api (yang
disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke ulu hati."12
Fakta
bahwa Islam lebih dari sekedar sebuah agama formal, tetapi juga risalah yang
agung bagi transformasi sosial dan tantangan bagi kepentingan-kepentingan
pribadi, dibuktikan oleh penekanannya pada shalat dan zakat. Dalam kebanyakan
ayat Al-Qur'an, shalat tidak pernah disebut tanpa diiringi dengan zakat. Zakat,
seperti digariskan Al-Qur'an, dimaksudkan untuk distribusi kekayaan kepada
fakir dan miskin, untuk membebaskan budak-budak, membayar hutang mereka yang
berhutang dan memberikan kemudahan bagi ibnu as-sabil (yang secara
harfiah diartikan sebagai infrastruktur bagi orang-orang yang berpergian). Di
Arab ketika itu, langkah-langkah seperti itu dirasakan sebagai hal baru yang
sangat revolusioner, karena itu masyarakat bisnis Mekkah, yang merasa
kepentingannya terancam melakukan perlawanan terhadap nabi.
Signifikansi transformatif dari ajaran Islam, lebih lanjut dibuktikan oleh kenyataan bahwa ajaran-ajaran itu lahir di dalam polarisasi kekuatan-kekuatan sosial. Budak-budak dan orang-orang yang tidak pandai berdagang di satu pihak, dan pemuda-pemuda radikal di pihak lain, bersatu mendukung Nabi. Orang-orang kafir yang menentang risalah Nabi merasakan hal itu sebagai pukulan keras bagi kepentingan mereka. Masalah ini diisyaratkan dalam Al-Qur'an ketika ia mengatakan: "Dan kami tidak mengutus pada suatu negeri seorang pemberi peringatan, melainkan orang-orang yang hidup mewah dinegeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya."13 Tapi Al-Qur'an memperingatkan orang-orang kaya ini: "Dan sekali-kali bukanlah harta dan (bukan) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepadaKu sedikitpun; tetapi orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh."14
Signifikansi transformatif dari ajaran Islam, lebih lanjut dibuktikan oleh kenyataan bahwa ajaran-ajaran itu lahir di dalam polarisasi kekuatan-kekuatan sosial. Budak-budak dan orang-orang yang tidak pandai berdagang di satu pihak, dan pemuda-pemuda radikal di pihak lain, bersatu mendukung Nabi. Orang-orang kafir yang menentang risalah Nabi merasakan hal itu sebagai pukulan keras bagi kepentingan mereka. Masalah ini diisyaratkan dalam Al-Qur'an ketika ia mengatakan: "Dan kami tidak mengutus pada suatu negeri seorang pemberi peringatan, melainkan orang-orang yang hidup mewah dinegeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya."13 Tapi Al-Qur'an memperingatkan orang-orang kaya ini: "Dan sekali-kali bukanlah harta dan (bukan) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepadaKu sedikitpun; tetapi orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh."14
Dengan
demikian sangat jelas bahwa orang-orang kafir dalam arti yang sesungguhnya
adalah orang-orang yang menumpuk kekayaan dan menghidupkan terus menerus
ketidakadilan serta merintangi upaya-upaya menegakkan keadilan dalam
masyarakat. Keadilan, sebagaimana nanti akan kita lihat, merupakan salah satu aspek penting dalam ajaran Islam di
bidang ekonomi.
Karena memperluas jaringan perdagangan di tingkat internasional, Mekkah siap berada di puncak revolusi sosial. Namun, hingga munculnya Islam, tidak ada pemimpin terkemuka yang mampu mengartikulasikan teori yang sistematis dan masuk akal untuk memajukan masyarakat Mekkah, baik pada dataran spiritual maupun pada dataran fisik. Muhammad, adalah orang pertama yang memikirkan proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat Mekkah secara serius. Tetapi, visi dan pemikiran Nabi dalam mengembangkan ajaran-ajarannya itu tidak semata-mata ditentukan oleh situasi Mekkah saja. Ajaran-ajarannya, yang diekspresikan dalam idiom-idiom religio-spiritual, sangatlah universal dalam pelaksanaannya dan menimbulkan restrukturisasi masyarakat secara radikal. Kita akan membahas masalah ini secara detail, agar kita mampu memahami kekacauan dunia Islam saat ini.
Karena memperluas jaringan perdagangan di tingkat internasional, Mekkah siap berada di puncak revolusi sosial. Namun, hingga munculnya Islam, tidak ada pemimpin terkemuka yang mampu mengartikulasikan teori yang sistematis dan masuk akal untuk memajukan masyarakat Mekkah, baik pada dataran spiritual maupun pada dataran fisik. Muhammad, adalah orang pertama yang memikirkan proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat Mekkah secara serius. Tetapi, visi dan pemikiran Nabi dalam mengembangkan ajaran-ajarannya itu tidak semata-mata ditentukan oleh situasi Mekkah saja. Ajaran-ajarannya, yang diekspresikan dalam idiom-idiom religio-spiritual, sangatlah universal dalam pelaksanaannya dan menimbulkan restrukturisasi masyarakat secara radikal. Kita akan membahas masalah ini secara detail, agar kita mampu memahami kekacauan dunia Islam saat ini.
Sebagaimana
yang dikemukakan dengan tepat oleh Muhammad Ahmad Khalfallah, pada dasarnya
Nabi Muhammad adalah seorang revolusioner dalam ucapan maupun dalam
perbuatannya. Ia bekerja demi perubahan radikal pada struktur masyarakat sosial
pada masanya.15
Ia
mengabaikan kemapanan di kotanya, yang telah dikuasai oleh orang-orang kaya dan
penguasa Mekkah. Rumusan yang didakwahkan, La ilaha illa Allah, dengan
sendirinya sangat revolusioner dalam implikasi sosial-ekonominya. Kekuatan
revolusioner manapun, pertama-tama haruslah merombak status-quo, sebelum
alternatif lainnya bisa berfungsi. Dengan mendakwahkan La ilaha illa Allah,
Nabi Muhammad tidak hanya menolak berhala-hala yang dipasang di Ka'bah, tetapi
juga menolak untuk mengakui otoritas kelompok kepentingan yang berkuasa dan
struktur sosial yang ada pada masanya.
Orang-orang
kafir Mekkah lebih merasa terusik oleh implikasi-implikasi revolusioner teologi
Muhammad ketimbang dakwahnya yang menantang penyembahan berhala. Semua tokoh
penentangnya berasal dari kelas pedagang kaya yang merasa terancam otoritas dan
dominasi mereka. Ancaman itu dirasakan begitu serius sehingga mereka memutuskan
untuk menyiksa para pengikut Muhammad kapan dan di manapun. Karena alasan
tersebutlah, Nabi memerintahkan para pengikutnya untuk hijrah ke Medinah,
tempat di mana dia memperoleh dukungan dan jaminan tertentu. Bahkan sekelompok
pengikutnya ada yang sudah lebih dulu hijrah ke Ethiopia.
Nabi Muhammad, dengan inspirasi wahyu ilahiyah menurut formulasi teologis, mengajukan sebuah alternatif tatanan sosial yang adil dan tidak eksploitatif serta menentang penumpukkan kekayaan di tangan segelintir orang (oligarki). Memang rumusan Al-Qur'an lebih bersifat teologis, tidak sosiologis, seperti pada umumnya sistem berpikir yang dirumuskan pada masa kenabian, tetapi semua orang akan melihat betapa rumusan-rumusan itu mempunyai implikasi-implikasi sosial yang sangat besar. Distribusi kekayaan yang berlebih kepada kelompok masyarakat yang lemah diistilahkan dengan infaq fi sabilillah. Al-Qur'an mengutuk orang-orang yang menimbun emas dan perak, tidak menafkahkannya di jalan Allah serta meminta Nabi untuk memperingatkan mereka, bahwa hukuman yang berat menunggu mereka.16 Dengan struktur ekonomi yang berlaku dalam masyarakat ketika itu, maka satu-satunya jalan untuk memberikan perlindungan bagi orang-orang yang lemah adalah memberi tanggung jawab kepada orang-orang kaya untuk membagikan kelebihan kekayaan di jalan Allah.
Nabi Muhammad, dengan inspirasi wahyu ilahiyah menurut formulasi teologis, mengajukan sebuah alternatif tatanan sosial yang adil dan tidak eksploitatif serta menentang penumpukkan kekayaan di tangan segelintir orang (oligarki). Memang rumusan Al-Qur'an lebih bersifat teologis, tidak sosiologis, seperti pada umumnya sistem berpikir yang dirumuskan pada masa kenabian, tetapi semua orang akan melihat betapa rumusan-rumusan itu mempunyai implikasi-implikasi sosial yang sangat besar. Distribusi kekayaan yang berlebih kepada kelompok masyarakat yang lemah diistilahkan dengan infaq fi sabilillah. Al-Qur'an mengutuk orang-orang yang menimbun emas dan perak, tidak menafkahkannya di jalan Allah serta meminta Nabi untuk memperingatkan mereka, bahwa hukuman yang berat menunggu mereka.16 Dengan struktur ekonomi yang berlaku dalam masyarakat ketika itu, maka satu-satunya jalan untuk memberikan perlindungan bagi orang-orang yang lemah adalah memberi tanggung jawab kepada orang-orang kaya untuk membagikan kelebihan kekayaan di jalan Allah.
Haruslah
diingat, bahwa ketika revolusi sosial didakwahkan melalui konsep-konsep
religius, maka terma yang demikian itu pasti digunakan. Namun untuk
mempertahankan keutuhan ruh dari ajaran-ajaran teologis ini, maka diskursus
teologis ini harus ditafsirkan kembali dalam terma sosial, politik dan ekonomi
modern. Ajakan teologis untuk membagikan kelebihan kekayaan di jalan Allah,
dalam terma sosial modern, ditransformasikan menjadi penciptaan
institusi-institusi yang tepat misalnya pemilikan alat-alat produksi oleh
masyarakat, penarikan pajak melalui negara untuk pembiayaan berbagai proyek
kesejahteraan rakyat, dan institusi-institusi lain yang mampu memeratakan
kekayaan di dalam masyarakat.
Nabi
tidak pernah berkeinginan untuk memutarbalik roda sejarah. Ia sangat keras
mengecam praktek riba yang eksploitatif, namun sama sekali tidak
mengharamkan laba yang diperlukan dalam masyarakat perdagangan. Hanya saja ia
memberi batasan-batasan tertentu untuk menghilangkan praktek-praktek pemerasan
dan penghisapan yang dilakukan oleh para pedagang yang serakah dan tidak jujur.
Menghilangkan sama sekali laba akan membuat surut masyarakat komersial yang
sedang berkembang. Tentu saja, semua praktek licik yang dianggap curang atau
mengambil keuntungan yang tak semestinya dari seseorang sangat dikutuk. Ibnu
Hazm, seorang ahli hukum terkenal
menyatakan prinsip transaksi terbuka:
"Penjualan
suatu barang yang fakta-faktanya tidak diketahui oleh penjual tidak dibenarkan,
sekalipun diketahui oleh pembeli; demikian pula untuk komoditas yang tidak
jelas bagi pembeli meskipun penjual mengetahuinya. Transaksi barang-barang yang
kedua belah pihak (penjual dan pembeli) tidak mengetahui fakta-faktanya, juga
tidak diperbolehkan (tidak sah)."17
Dalam
situasi tertentu, bahkan di negara-negara sosialis sekali pun, perdagangan
swasta, perusahaan bahkan produksi tetap diperbolehkan pada skala yang
terbatas, selama tidak menimbulkan eksploitasi-eksploitasi terhadap orang lain.
Seseorang tidak bisa kaku dalam masalah-masalah seperti ini. Sangat bergantung
pada situasi tempat kita berurusan. Nabi sadar benar akan situasi dan
idealismenya selalu mempunyai dimensi historis. Karena untuk berhasil, suatu
revolusi sosial harus memiliki kesadaran sejarah dan harus merespon
kebutuhan-kebutuhan yang secara sosial dirasakan oleh orang-orang yang terkena
revolusi sosial tersebut. Konsep riba tersebut (biasanya diterjemahkan sebagai
bunga) juga harus dipahami dalam konteks sejarah yang tepat. Motif nyata untuk
melarang riba (persoalan ini akan dibicarakan secara rinci di bab lain) adalah
untuk mengakhiri eksploitasi terhadap orang-orang yang tidak berdaya, dan bukan
merupakan larangan total terhadap semua bentuk bunga. Konsep riba, menurut
saya, juga harus termasuk keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari 'eksploitasi'
tenaga kerja, atau keuntungan dari penanaman modal yang mengabaikan
kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat.
Al-Qur’an, di samping mendakwahkan cita-cita Islam, tidak pernah mengabaikan konteks situasinya dan, sebenarnya hal inilah yang menjadi rahasia keberhasilannya. Misalnya ia tidak mengambil pendekatan kelas dengan jelas, karena pendekatan itu hampir-hampir tidak akan berfungsi dalam situasi sejarah berikutnya. Al-Qur’an membenci perbudakan, tapi tidak segera menghapusnya begitu saja. Perbudakan bukan merupakan bagian integral dari sistem ekonomi di Mekkah. Meskipun begitu, perbudakan tetap menjadi masalah yang sangat penting. Terlepas dari dukungan biaya yang bisa diperoleh Nabi dari tokoh-tokoh penting di Mekkah dan Medinah, penghapusan perbudakan bisa menimbulkan masalah baru yang tak terpecahkan pada masa permulaan Islam.18 Nabi menempuh cara-cara gradual untuk menghapuskan perbudakan. Nabi juga memberikan hak-hak budak yang sebelumnya terabaikan. Namun, sayangnya konteks sejarah belum matang untuk pembebasan budak secara total, dan karenanya, alih-alih melemah, lembaga perbudakan malah semakin menguat setelah Nabi wafat. Setelah imperium Byzantium dan Persia berhasil ditaklukkan, Islam berubah menjadi feodal (feudalised) dan menjadi kekuatan yang eksploitatif yang terlembaga selama tiga dekade serta telah kehilangan elan pembebasannya. Para ahli hukum Islam berhadapan dengan situasi kesejarahan yang konkrit, melakukan kodifikasi hukum syari’ah di bawah pengaruh atmosfir tersebut, dan dengan demikian mereka juga kehilangan elan pembebasan Islam-awal. “Kerusakan berat” pada elan pembebasan dan progresivitas Islam ini telah ditimbulkan oleh para ahli teologi dan ahli hukum Islam dengan cara mengaburkan apa yang diperintah oleh batasan-batasan situasional. Generasi berikutnya mengikuti mereka secara tidak kritis dan dengan demikian terciptalah suatu tatanan syari’ah yang kaku dan tidak dapat diubah. Sementara itu, ulama masa kini--dengan semangat tidak kritis yang sama--menganggap hukum-hukum yang dirumuskan oleh ulama terdahulu sama dengan kebijaksanaan Ilahi dan mempunyai validitas abadi. Mereka juga mengabaikan fakta bahwa kebijaksanaan Ilahiyah bersifat transendental, melampaui batas-batas ruang dan waktu. Salah satu fungsi Tuhan yang essensial adalah rububiyyah yang didefinisikan oleh Imam Raghib Asfahani sebagai membimbing ciptaan-Nya melalui tahap-tahap evolusi yang berbeda ke arah kesempurnaan.19 Jika kebijaksanaan ilahiyah harus tetap berlaku, para ulama mestinya berupaya terus menerus untuk memecahkan ketegangan antara yang aktual dan yang mungkin, yang nyata dan yang ideal, yang sementara dan yang abadi.
Al-Qur’an, di samping mendakwahkan cita-cita Islam, tidak pernah mengabaikan konteks situasinya dan, sebenarnya hal inilah yang menjadi rahasia keberhasilannya. Misalnya ia tidak mengambil pendekatan kelas dengan jelas, karena pendekatan itu hampir-hampir tidak akan berfungsi dalam situasi sejarah berikutnya. Al-Qur’an membenci perbudakan, tapi tidak segera menghapusnya begitu saja. Perbudakan bukan merupakan bagian integral dari sistem ekonomi di Mekkah. Meskipun begitu, perbudakan tetap menjadi masalah yang sangat penting. Terlepas dari dukungan biaya yang bisa diperoleh Nabi dari tokoh-tokoh penting di Mekkah dan Medinah, penghapusan perbudakan bisa menimbulkan masalah baru yang tak terpecahkan pada masa permulaan Islam.18 Nabi menempuh cara-cara gradual untuk menghapuskan perbudakan. Nabi juga memberikan hak-hak budak yang sebelumnya terabaikan. Namun, sayangnya konteks sejarah belum matang untuk pembebasan budak secara total, dan karenanya, alih-alih melemah, lembaga perbudakan malah semakin menguat setelah Nabi wafat. Setelah imperium Byzantium dan Persia berhasil ditaklukkan, Islam berubah menjadi feodal (feudalised) dan menjadi kekuatan yang eksploitatif yang terlembaga selama tiga dekade serta telah kehilangan elan pembebasannya. Para ahli hukum Islam berhadapan dengan situasi kesejarahan yang konkrit, melakukan kodifikasi hukum syari’ah di bawah pengaruh atmosfir tersebut, dan dengan demikian mereka juga kehilangan elan pembebasan Islam-awal. “Kerusakan berat” pada elan pembebasan dan progresivitas Islam ini telah ditimbulkan oleh para ahli teologi dan ahli hukum Islam dengan cara mengaburkan apa yang diperintah oleh batasan-batasan situasional. Generasi berikutnya mengikuti mereka secara tidak kritis dan dengan demikian terciptalah suatu tatanan syari’ah yang kaku dan tidak dapat diubah. Sementara itu, ulama masa kini--dengan semangat tidak kritis yang sama--menganggap hukum-hukum yang dirumuskan oleh ulama terdahulu sama dengan kebijaksanaan Ilahi dan mempunyai validitas abadi. Mereka juga mengabaikan fakta bahwa kebijaksanaan Ilahiyah bersifat transendental, melampaui batas-batas ruang dan waktu. Salah satu fungsi Tuhan yang essensial adalah rububiyyah yang didefinisikan oleh Imam Raghib Asfahani sebagai membimbing ciptaan-Nya melalui tahap-tahap evolusi yang berbeda ke arah kesempurnaan.19 Jika kebijaksanaan ilahiyah harus tetap berlaku, para ulama mestinya berupaya terus menerus untuk memecahkan ketegangan antara yang aktual dan yang mungkin, yang nyata dan yang ideal, yang sementara dan yang abadi.
Masalah
lain yang juga selalu disalahpahami adalah makna jihad dalam Islam. Selama ini
jihad diartikan sebagai persetujuan Islam untuk menggunakan cara kekerasan.
Kesan, bahwa Islam mengabsahkan cara kekerasan dalam mencapai tujuannya terus
berlangsung. Agama tidak dapat disebarkan dengan pedang. Ia tersebar karena
kesadaran. Orang harus kembali pada asal-usul Islam jika masalah ini ingin
dipahami dalam konteks yang tepat.
Pada
periode permulaan Islam di Mekkah, kaum muslimin merupakan minoritas kecil yang
berhadapan dengan pedagang-pedagang kaya Mekkah yang mapan dan kuat. Mereka
hampir-hampir tidak bisa mengangkat senjata menghadapi penantang-penantangnya
yang kuat itu. Dalam menghadapi penindasan seperti itu, satu-satunya jalan yang
mereka tempuh adalah pindah ke suatu negeri yang lebih aman dan hal ini
dilakukan oleh kaum Muslimin setelah mendapat perintah Nabi. Mula-mula
serombongan kaum Muslimin hijrah ke Ethiopia dan rombongan berikutnya hijrah ke
Medinah. Kemudian Nabi juga ikut bergabung. Beberapa orang dari suku Aus dan
Khazraj bergabung dengan Nabi dan di sana nabi menyusun kekuatan. Di Medinah
juga terdapat beberapa suku Yahudi yang cukup berpengaruh. Nabi membuat suatu
kesepakatan dengan berbagai suku, termasuk kaum Yahudi, dalam upayanya
membentuk sebuah masyarakat yang kohesif.
Di
sini, kita harus membedakan antara perang untuk menyebarkan agama dan perang
sebagai sekedar cara untuk mempertahankan diri ketika berhadapan dengan musuh
yang militan. Sejauh dikaitkan dengan kategori yang pertama, Islam justru tidak
percaya pada penggunaan kekerasan. Sikap Al-Qur’an jelas: La Ikraha fi
al-Din (tidak ada paksaan dalam agama),20 dan
selanjutnya ia menyatakan: “Katakanlah hai orang-orang kafir, aku tidak akan
menyembah apa yang kamu sembah dan engkau tidak akan menyembah apa yang aku
sembah. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”.21 Tidak
perlu orang dipaksa untuk menerima suatu agama. Konversi agama mestilah
dibebaskan dari ancaman dan pengaruh. Menurut Al-Qur’an, Tuhan telah membuat
jelas jalan yang lurus dan membedakannya dengan jalan yang salah. Adalah hak
seseorang untuk mengikuti jalan yang benar atau mengikuti jalan yang salah. “Seseorang
boleh melanjutkan mengikuti thagut, atau percaya kepada Tuhan”.22 Tidak
ada paksaan sama sekali.
Masalahnya
menjadi lain, bila seseorang disiksa, disakiti atau diserang. Islam
memperbolehkan penggunaan kekerasan atau perang hanya dalam kasus-kasus seperti
itu. Dr. Khalfallah tetap berpendapat bahwa orang Islam tidak pernah memaksa
untuk membangun kekuasaan atas orang lain atau untuk merampas kemerdekaannya,
atau untuk menganiaya orang lain, untuk menumpahkan darah orang lain, atau
merebut hak orang lain, atau mengeksploitasi kekayaan orang lain, atau menindas
orang lain. Ia selanjutnya mengatakan, dengan mengutip Muhammad Abduh, bahwa
memaksa orang lain untuk memeluk suatu agama tidak diperbolehkan, begitu pula
orang lain tidak boleh memaksa seseorang untuk meninggalkan agama yang telah
dipeluknya.23 Ketika
seseorang dianiaya atau diusir dari rumahnya sendiri, maka ia harus melawan tirani
itu. Menurut etik Al-Qur’an, melindungi orang-orang yang tertindas adalah suatu
keharusan. Al-Qur’an berkata:
“Mengapa
kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah
baik laki-laki, perempuan dan anak-anak yang semuanya berdo’a: Ya Tuhan kami,
keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang zalim penduduknya dan berilah
kami perlindungan dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong di sisi-Mu”.24
Juga dikatakan:
“Dan perangilah
mereka, supaya jangan ada fitnah lagi, dan supaya agama itu semata-mata bagi
Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah maha
melihat apa yang mereka kerjakan.25
Dengan demikian jelas, bahwa berjuang (berperang) diizinkan dalam Al-Qur’an tidak untuk memaksa seseorang untuk memeluk Islam, tapi untuk mengakhiri penganiayaan dan untuk melindungi orang-orang lemah dari penindasan orang-orang kuat.
Kajian
yang seksama atas Al-Qur’an juga menunjukkan, bahwa Al-Qur’an berpihak pada
posisi orang-orang yang lemah dalam menghadapi orang-orang yang kuat. Term yang
digunakan Al-Qur’an bagi mereka adalah mustadh’afin (orang-orang yang
dilemahkan) dan mustakbirin (orang-orang yang sombong). Semua Nabi
Israel digambarkan di dalam Al-Qur’an sebagai pembela mustadh’afin menghadapi
mustakbirin, yakni orang-orang kaya dan penguasa suatu negeri. Karena itu, nabi
Israel terkemuka, Musa, digambarkan sebagai pembebas orang-orang yang tertindas
(bangsa Israel) dari penindasan Fir’aun (mustakbirin). Simpati Tuhan pun
ditujukan kepada orang-orang yang tertindas itu. Tuhan berfirman dalam
Al-Qur’an: "Dan Kami hendak memberi karunia bagi orang-orang yang
tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan
mereka orang-orang yang mewarisi bumi."26 Inilah
konsep Al-Qur’an tentang kepemimpinan bagi orang tertindas.
Pertarungan antara
mustadh’afin dan mustakbirin itu akan terus berlangsung, hingga Din Allah
yang berbasis pada Tauhid menyatukan semua rakyat (tanpa perbedaan lagi antara
mustadh’afin dan mustakbirin, orang-orang yang menindas dan orang-orang yang
tertindas, kaya-miskin) sehingga menjadi suatu masyarakat “tanpa kelas”. Dari
perspektif ini jelaslah bahwa Al-Qur’an menghadirkan suatu teologi pembebas dan
dengan demikian membuat teologi yang sebelumnya mengabdi kepada kelompok
penguasa yang eksploitatif menjadi teologi pembebasan. Sayangnya, Islam dalam
fase-fase berikutnya, justru mendukung kemapanan itu. Tugas generasi baru
Islamlah untuk merekonstruksi lagi teologi Islam revolusioner-transformatif dan
membebaskan itu.***
http://artikel-tentangg.blogspot.com/2012/06/asal-usul-islam.html
Catatan
1
Al-Qur’an
(33:62)
2 Al-Qur’an (53:40)
3 Al-Qur’an (21:45)
4 Al-Qur’an (21:48)
5 Konsep determinisme sejarah digunakan dalam maknanya yang lebih luas dalam buku ini,
berbeda dengan kategori Marxis, tidak mengesampingkan faktor-faktor tujuan ketuhanan.
Konsep ini tidak dengan pengertian mekanis yang sempit.
6 Al-Qur’an (21:46)
7 Saya setuju dengan Paul Tillich yang mengatakan bahwa “Manusia, sejauh ia membangun dan
mengejar tujuannya, pada dasarnya bebas. Ia mentransendensikan situasi yang ada sambil
meninggalkan kenyataan itu untuk mencari kemungkinan-kemungkinan. Ia tidak terikat pada
situasi tempat ia menemukan dirinya, dan itulah yang disebut sebagai transendensi diri yang
menjadi kualitas dasar kebebasan. Karena itu tidak ada situasi historis apapun yang bisa
membatasi situasi historis lain secara total. Transisi dari suatu situasi ke situasi lain adalah
sebagian dibatasi oleh reaksi-reaksi kemanusiaan dengan kebebasannya. Sesuai dengan polaritas
kebebasan dan keterbatasan, transendensi itu tidaklah absolut: ia berasal dari totalitas
elemen-elemen masa lampau dan masa keuangan, perdagangan dan peredaran uang itu, suatu
pandangan hidup dan cara pandang baru sedang berkembang, meskipun belum dinyatakan
secara sadar dan jelas. Kerja komersial tentu mempunyai logikanya sendiri dan mengarahkan
masyarakat kepada suatu cara hidup tertentu. Dinamika sosial dalam masyarakat Mekkah
yang seperti itu mengarahkan pada suatu kehidupan yang tidak selaras dengan kehidupan
masyarakat yang beralaskan norma-norma kesukuan.
8 Asghar Ali Engineer, The Origin and Development of Islam, Orient and Longman, 1980, hal. 41.
9 Watt mencatat, “Mereka membentuk suatu aliansi antar klan, yang dapat kita sebut sebagai Liga
orang-orang Tulus—nama-nama lain juga sering kita temukan. Muhammad menghadiri
pertemuan yang pembentukan Liga itu, bahkan ia menyetujui pembentukan liga itu. Tujuan liga itu
adalah untuk menjaga integritas perdagangan, tapi di balik itu, liga berkepentingan untuk
mencegah keluarnya pedagang Yaman dari pasar Mekkah, karena liga merasakan kesulitan jika
harus mengirimkan sendiri kafilah mereka ke Yaman yang selama ini sangat profesional dalam
perdagangan antar kota terutama Mekkah dan Syria. (M. Montgomery Watt, Muhammad,
Prophet and Statesman, London, 1961), hal. 9.
10 HAR. Gibb berkomentar, Mekkah ketika itu menyimpan sisi gelap. Kejahatan dalam masyarakat
pedagang kaya adalah hal yang biasa, begitu juga kesenjangan yang amat jauh antara kaya dan
miskin, perbudakan dan persewaan manusia dan tajamnya pertentangan kelas-kelas sosial. Hal
ini jelas dari keluhan Nabi Muhammad atas ketidakadilan sosial dan inilah yang menyebabkan
guncangan keras dalam dirinya. (HAR. Gibb, Mohammadanism, Oxford, 1969), hal. 9.
11 Pada permulaan tahun Masehi, salah satu dari suku-suku Arab bernama Quraisy menduduki
Mekkah. Kota ini terdiri dari wilayah-wilayah, dan setiap wilayah terdapat klan yang termasuk
suku Quraisy. Penduduk Mekkah ikut serta dalam perdagangan baik ke dalam maupun ke luar,
dan inilah yang menyebabkan kemakmuran kota ini sekaligus menyebabkan kesenjangan
pendapatan yang besar. Dalam suku Quraisy sendiri, terdapat keluarga-keluarga kaya terlibat
dalam perdagangan dan praktik riba. (A.P. Petrovsky, Islam da Iran, Persian, diterjemahkan oleh
Karim Kashawarz, Teheran, 1950) hal. 16.
2 Al-Qur’an (53:40)
3 Al-Qur’an (21:45)
4 Al-Qur’an (21:48)
5 Konsep determinisme sejarah digunakan dalam maknanya yang lebih luas dalam buku ini,
berbeda dengan kategori Marxis, tidak mengesampingkan faktor-faktor tujuan ketuhanan.
Konsep ini tidak dengan pengertian mekanis yang sempit.
6 Al-Qur’an (21:46)
7 Saya setuju dengan Paul Tillich yang mengatakan bahwa “Manusia, sejauh ia membangun dan
mengejar tujuannya, pada dasarnya bebas. Ia mentransendensikan situasi yang ada sambil
meninggalkan kenyataan itu untuk mencari kemungkinan-kemungkinan. Ia tidak terikat pada
situasi tempat ia menemukan dirinya, dan itulah yang disebut sebagai transendensi diri yang
menjadi kualitas dasar kebebasan. Karena itu tidak ada situasi historis apapun yang bisa
membatasi situasi historis lain secara total. Transisi dari suatu situasi ke situasi lain adalah
sebagian dibatasi oleh reaksi-reaksi kemanusiaan dengan kebebasannya. Sesuai dengan polaritas
kebebasan dan keterbatasan, transendensi itu tidaklah absolut: ia berasal dari totalitas
elemen-elemen masa lampau dan masa keuangan, perdagangan dan peredaran uang itu, suatu
pandangan hidup dan cara pandang baru sedang berkembang, meskipun belum dinyatakan
secara sadar dan jelas. Kerja komersial tentu mempunyai logikanya sendiri dan mengarahkan
masyarakat kepada suatu cara hidup tertentu. Dinamika sosial dalam masyarakat Mekkah
yang seperti itu mengarahkan pada suatu kehidupan yang tidak selaras dengan kehidupan
masyarakat yang beralaskan norma-norma kesukuan.
8 Asghar Ali Engineer, The Origin and Development of Islam, Orient and Longman, 1980, hal. 41.
9 Watt mencatat, “Mereka membentuk suatu aliansi antar klan, yang dapat kita sebut sebagai Liga
orang-orang Tulus—nama-nama lain juga sering kita temukan. Muhammad menghadiri
pertemuan yang pembentukan Liga itu, bahkan ia menyetujui pembentukan liga itu. Tujuan liga itu
adalah untuk menjaga integritas perdagangan, tapi di balik itu, liga berkepentingan untuk
mencegah keluarnya pedagang Yaman dari pasar Mekkah, karena liga merasakan kesulitan jika
harus mengirimkan sendiri kafilah mereka ke Yaman yang selama ini sangat profesional dalam
perdagangan antar kota terutama Mekkah dan Syria. (M. Montgomery Watt, Muhammad,
Prophet and Statesman, London, 1961), hal. 9.
10 HAR. Gibb berkomentar, Mekkah ketika itu menyimpan sisi gelap. Kejahatan dalam masyarakat
pedagang kaya adalah hal yang biasa, begitu juga kesenjangan yang amat jauh antara kaya dan
miskin, perbudakan dan persewaan manusia dan tajamnya pertentangan kelas-kelas sosial. Hal
ini jelas dari keluhan Nabi Muhammad atas ketidakadilan sosial dan inilah yang menyebabkan
guncangan keras dalam dirinya. (HAR. Gibb, Mohammadanism, Oxford, 1969), hal. 9.
11 Pada permulaan tahun Masehi, salah satu dari suku-suku Arab bernama Quraisy menduduki
Mekkah. Kota ini terdiri dari wilayah-wilayah, dan setiap wilayah terdapat klan yang termasuk
suku Quraisy. Penduduk Mekkah ikut serta dalam perdagangan baik ke dalam maupun ke luar,
dan inilah yang menyebabkan kemakmuran kota ini sekaligus menyebabkan kesenjangan
pendapatan yang besar. Dalam suku Quraisy sendiri, terdapat keluarga-keluarga kaya terlibat
dalam perdagangan dan praktik riba. (A.P. Petrovsky, Islam da Iran, Persian, diterjemahkan oleh
Karim Kashawarz, Teheran, 1950) hal. 16.
12 Al-Qur’an (104
13 Al-Qur’an (34:34)
14 Al-Qur’an (34:37)
15 Muhammad Ahmad Khalfallah, Muhammad wa Quwwa al-Muwadadah (Kairo, 1973) hal.
113-4.
16 Al-Qur’an (9:34)
17 Ibn Hazm, Al-Mahalli, vol. 8 hal. 439, lihat juga Dr. Muhammad Nijatullah Shiddiqi, Economic
Enterprise in Islam (Delhi, 1979) hal. 55.
18 Untuk uraian lengkap mengenai masalah perbudakan, lihat Asghar Ali Engineer, The Origin and
Development of Islam, op. cit.,
19 Lihat Mufradat Imam Raghib; lihat Maulvi Muhammad Taqi Amini, Islam ka Zar’I Nizam (Delhi,
1981) hal. 13
20 Al-Qur’an (2:256)
21 Al-Qur’an 109
22 Al-Qur’an (2:256)
23 Dr. Muhammad Ahmad Khalfallah, op. cit., hal. 244.
24 Al-Qur’an (4:75)
25 Al-Qur’an (8:39)
26 Al-Qur’an (28:5)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar