MAKALAH
KORELASI PENDIDIKAN
MORAL AGAMA SEBAGAI DASAR PENDIDIKAN INTELEKTUAL DALAM SISTEM PENDIDIKAN
NASIONAL
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam kondisi
dilematis, keraguan masyarakat terhadap peran pendidikan muncul. “ Untuk meningkatkan
kualitas dirinya saja susah, apalagi mengeluarkan bangsa ini dari krisis
multidimensional.” Demikian yang ada dibenak masyarakat. Bahkan sebagian
masyarakat yang ekstrim langsung berkesimpulan, krisis serba dimensi yang
menggejala belakangan ini adalah bukti kegagalan pendidikan.
Manusia
membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar
manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan
atau cara lain dikenal dan diakui oleh masyarakat. Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga
negara berhak mendapatkan pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan Nasional yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa yang diatur dengan undang-undang. Untuk itu, seluruh kompenen bangsa
wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara
Indonesia.
pendidikan moral itu penting |
Di antara paradigma
baru pendidikan yang ditawarkan adalah paradigm pendidikan budi pekerti. Dengan
bahasa lain, di dalam dunia pendidikan, aspek moral yang terwadahi dalam
wilayah sikap (attitude) tampaknya agak terabaikan. Pelaksanaan pendidikan
sangat berat sebelah kepada wilayah intelektual (kognitif). Padahal, sikap
(moral/afektif) ini justru wilayah yang dapat memberikan keseimbangan atas
kemampuan wilayah lainnya, seperti intelektual dan keterampilan (motorik).
Dengan dasar sikap moral yang baik maka diasumsikan individu akan dapat
mengendalikan pikiran dan prilakunya kea rah pemikiran dan kelakuan yang baik.
Karena itu, moral sejatinya menjadi kualitas manusia “terdidik” yang memberikan
kontribusi besra terhadap keseluruhan integrasi pribadi manusia pendidikan.
Di dalam
Undang-Undang No.2 Tahun 1989 tentang system pendidikan Nasional, Bab 1 pasal 1
ayat (2) di sebutkan bahwa:”Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar
pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yang berdasarkan UUD 1945”. Pernyataan ini mengandung arti bahwa semua
aspek yang terdapat dalam sisitem pendidikan nasional akan mencerminkan
aktivitas yang di jiwai oleh Pancasila dan UUD 1945 dan barakar pada kebudayaan
bangsa Indonesia. Tujuan Pendidikan lebih di tekankan pada “Peningkatan
kualitas manusia Indonesia yang bertakwa tehadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi
pekerti luhur, dan menyadari bahwa setiap sektur pembangunan memerlukan
partisipasi aktif dari mereka.[1]
Mengingat pentingnya pendidikan moral agama sebagai
dasar pendidikan intelektual dalam sistem pendidikan nasional, maka penulis
menuangkan dalam karya ilmiah dengan judul” KORELASI PENDIDIKAN MORAL AGAMA
SEBAGAI DASAR PENDIDIKAN INTELEKTUAL DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL”.
B. Rumusan
Masalah
1. Seberapa
pentingnya pendidikan moral agama dalam pendidikan intelektual
2. Apa
yang menjadi peranan penting dalam system pendidikan nasional
C. Tujuan
dan Kegunaan
Tujuan
1. Untuk
mengetahui pentingnya pendidikan moral agama dalam pendidikan intelektual
2. Untuk
mengetahui apa yang menjadi peranan pentinng dalam system pendidikan nasional
Kegunaan
1. Sebagai
bahan deskripsi tentang pendidikan moral agama dalam pendidikan intelektual
2. Sebagai
informasi awal mengenai hubungan pendidikan moral agama dalam system pendidikan
nasional
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Konsep
Pendidikan Budi Pekerti dan Pemahaman Moralitas
Pendidikan budi
pekerti memiliki makna yang sama dengan pendidikan moral, pendidikan karakter,
pendidikan akhala dan pendidikan nilai. Pendidikan budi pekerti merupakan
pendidikan nilai-nilai luhur yang berakar dari agama, adat-istiadat dan budaya
bangsa Indonesia dalam rangka mengembangkan kepribadian peserta didik supaya
menjadi manusia yang baik. Secara umum, ruang lingkup pendidikan budi
pekerti adalah penanaman dan pengembangan
nilai, sikap dan perilaku peserta didik sesuai nilai-nilai budi pekerti luhur.
Di antara nilai-nilai yang perlu di tanam kan adalah sopan santun,
kedisiplinan, berhati lapang, berhati lembut beriman dan bertakwa, berkemauan
keras, bersahaja, bertanggung jawab, bertenggang rasa, jujur, mandiri,
manusiawi, mencintai ilmu, dan lain sebagainya.
Dalam pengertian umum, moral adalah hal yang berhubungan erat
dengan prinsip-prinsip pertimbangan tentang yang benar dan salah dalam
kaitannya dengan prilaku atau karakter manusia. Kemudian, perilaku bermoral
atau tidak, sangat ditentukan oleh sikap dan keyakinan atas kebenaran atau
kebijakan dari peserta didik.
Pendidikan moral adalah bimbingan lahir batin secara bulat dan
utuh untuk mencapai kesempurnaan kepribadian manusia, yang dapat
dimanfestasikan dalam wujud perangai, kata-kata dan perbuatan untuk dirinya dan
untuk orang lain atas dasar suara hati yang jujur dan benar.
Pada tata mikro, tabiat buruk kontemporer para
pelajar telah mengalami pergeseran drastis. Sesungguhnya gejala yang mencemaskan ini bukan semata monopoli
Indonesia, melainkan fenomena internasional. di Amerika serikat, lebih dari
lima puluh tahun lalu tabiat buruk para pelajar masih domonan sebatas dalam
bentuk berbicara buruk secara seenaknya, brisik dalam kelas, di gang-gang serta
mengunyah permen karet serta membuangya pada sembarang tempat kondisinya sudah
berubah, dimana kejahatan disekolah menanjak naik sejalan dengan beragamnya
bentuk kejahatan dimasyarakat , dimana hal itu telah menyebabkan kerugian
ekstra besar. Para analis termasuk juga Toeiloe, cenderung melihat fenomena
buruk ini bersumber dari kegagalan pendidikan moral dan budi pekerti atau
kegagalan sekolah dalam memanusiawikan anak. Ada pula yang melabelinya sebagi
aksentuasi kekeliruan orientasi sekolah yang lebih mengutamakan pengajaran
intelektual daripada pendidikan dalam makna luas, dimana proses pendidikan
cenderung bersifat driil dan rote learning, bukan dalam format pembelajan yang
humanistic sejati.
Bahwa akan
ada kesulitan untuk mencari bukti empiric mengenai hubungan kegagalan
pendidikan budi pekerti denga kejahatan siswa dan kejahatan di masyarakat pada
umumnya, memperoleh letimigasi akademik. Karena variable kejahatan dimasyarakat
dan di lingkungan pelajar sendiri terlalu riskan hanya direduksi sebagai kegagalan
pendidikan budi pekerti di sekolah. Kita harus akui bahwa ada factor sekolah
yang menyebabkan konflik psikologis pada
diri siswa, seperti evaluasi yang tidak hanya untuk memposisikan ketercapaian
daya serap mereka terhadap mata ajaran. Melainkan juga memposisikanya pada
tataran kelompok yang justru dapat menimbulkan beban psikologis ,konflik, dan
rasa rendah diri, misalnya sebagaimana terlihat pada pelembagaan system
pengikat atau rangking.[2]
Al-quran
Al-karim menempatkan para ilmuwan pada posisi yang sangat tinggi. (Q.S
Al-Mujadalah[58]:11). Akan tetapi, posisi strategi tersebut di barengi dengan
keharusan menegakkan keimanan, ketekwaan
dan menegakkan moral, sebab kitab suci ini memendang orang yang berilmu sebagai
komunitas paling bertakwa kapada Tuhan (Q.S Fathir [35]:28). Beradasarkan
kemestian logika semacam ini, maka Islam, menempatkan penegakan moral diatas ilmu pengetahuan
sebagaimana statemen yang sangat terkenal di kalangan umat ini. “Moralitas
berrada di atas ilmu”.[3]
Dua
aspek yang menjadi orientalis pendidikan budi pekerti.
1. Membimbing
hati nurani peserta didik agar berkembang lebih positif secara bertahap dan
berkesinambungan.
2. Memupuk,
mengembangkan, menanamkan nilai-nilai dan sifat-sifat positif ke dalam pribadi
peserta didik.[4]
v Pandangan
Islam Terhadap Moral
Tidak ada konsep
moral dalam Islam, yang ada hanyalah konsep akhlak. Moral adalah nilai yang
terdapat dalam agama selain Islam. Sedangkann Islam sendiri menggunakan
perkataan akhlak yang berhubungan dengan tingkah laku. Agama yng sangat
mementingkan nilai moral adalah agama Islam. Nabi Muhammad adalah seorang Rosul
yang di utus oleh Allah ke dunia ini untuk ini untuk menyampailan risalah
Islamiyah. Persoalan yang di benahi oleh rosul adalah akhlak moral etika atau
adab.[5]
Lawrence Kohlberg
(1995) menulis bahwa kebanyakan guru tidak menyadari sepenuhnya bahwa mereka
seharusnya berurusan dengan persoalan-persoalan pendidikan moral. Tradisi hidup
yang materialistic tidak menjadikan moralitas sebagai anutan, tapi kekayaan
yang dijadikan ukuran kemuliaan dan kehormatan, betapapun hal tersebut tidak
membangun dan memperbesar system pendidikan yang dapat membangkitkan dan
menghasilkan moral spiritual masyarakat.
Lembaga
pendidikan terus mengalami modernisasi, namun bersamaan dengan itu, pendidikan
modern makin diberi makna sebagai pendidikan sekuler yang menyamakan cara
pengajaran mata ajar agama dengan non agama seperti matematika dan geografi.
Disinilah perlu tampil pendidik muslim sejati, yaitu mereka yang memahami tata
nilai, menemukan identitas, membangun kebersamaan, dan menjauhkan diri dari
sikap arogan bukanlah sebagai tugas tambahan.[6]
Benturan
kultural selalu menyertai usaha-usaha untuk membangun masyarakat bermoral. Di
setiap Negara, pengaruh media massa atau media pemberitaan jauh lebih luas dan
kuat daripada system pendidikan, termasuk system pendidikan Islam.[7]
v Pemahaman
Moral dalam Masyarakat Barat
Yang sering
terungkap dalam mengambil keputusan dan memberikan pendapat tentang apa yang benar dan apa yang salah, apa yang
baik dan apa yang buruk. Inilah yang di maksud dengan moral dalam persepektif
orang Barat Kristen secara umum. Perkataan yang benar, bekerja semestinya demi
untuk mendapat gaji, berupaya membantu mengurangi penderitaan orang lain,
berani , adil, dan tdak mementingkan diri sendiri, adalah semua contih
keyakinan moral yang di anut oleh kebanyakan orang Barat.[8]
B.
Perkembangan
dan Gejala Kontras Moralitas
Mengingat
pentingnya pendidikan moralitas justru cenderung pada masa remaja. Furter
(1965) beranggapan bahwa kehidupan moral merupakan problematika dalam masa
remaja. Dalam tingkatan nol anak menganggap baik apa yang sesuai dengan
permintaan dan keinginannya. Tingkatan ini bersamaan dengan stadium
sensori/motorik dalam perkembangan intelegency menurut Piaget. Sesudah tingkatan
ini datanglah kedua tingkatan yaitu oleh Kohlberg disebut pra-konvensional.
Anak menanggap baik atau buruk atas dasar akibat yang ditimbulkan oleh suatu
tingkah laku. Hadiah atau hukuman (stadium 1). Anak mengikuti apa yang
dikatakan baik atau buruk untuk memperoleh hadiah atau menghindari hukuman ini
disebut hedonism instrumental (stadium 2). Dalam stadium 3 akan dinilai baik
apa yang dapat menyenangkan dan disetujui oleh orang lain dan buruk apa yang
ditolak oleh orang lain. Kemudian stadium 4 tumbuh semacam kesadaran akan
kewajiban dalam arti ingin mempertahankan kekuasaan dan aturan-aturan yang ada
karena diangapnya berharga, tetapi belum dapat mempertanggungjawabkan secara
pribadi. Originalitas remaja juga Nampak dalam hal itu. Pertama, remaja masih
mau diatur secara ketat oleh hukum-hukum umum yang lebih tinggi (stadium 5).
Kemudian datanglah penginternalisasian moral yaitu remaja melakukan tingkah
laku moral yang dikemudikan oleh tanggung jawab batin sendiri (stadium 6).[9]
Pendidikan
sejatinya merupakan proses pembentukan moral masyarakat beradab, masyarakat
yang tampil dengan wajah kemanusiaan dan pemanusiaan yang normal. Kata lainnya,
pendidikan adalah moralisasi masyarakat, terutama peserta didik. Pendidikan
yang dimaksudkan disini lebih dari sekedar sekolah (education not only education as schooling), melainkan pendidikan
sebagai jarring-jaring kemasyarakatan (education as community network).
Sejatinya, pendidikan persekolahan memfokuskan diri pada pembentukan kemampuan
nalar intelektual dan keterampilan motoris. Pembentukan nalar emosional dan
afeksi, termasuk prilaku bermoral untuk sebagian besar menjadi tugas pendidikan
dalam makna jaring-jaring kemasyarakatan itu.[10]
Di
dalam suatu budaya atau kultur suatu bangsa, sistem nilai merupakan landasan atau
tujuan dari kegiatan sehari-hari yang menentukan dan mengarahkan bentuk, corak,
intensitas, kelentururan (fleksibel), perilaku seseorang atau kelompok orang,
sehingga menghasilkan bentuk-bentuk produk materi seperti benda-benda budaya
maupun bentuk-bentuk yang bersifat non materi yang dinyatakan dalam gerak atau pendapat seseorang yang
bersifat non materi, kegiatan-kegiatan kebudayaan dan kesenian, atau pola dan
konsep berpikir yang keseluruhannya disebut budaya atau kultur.
Secara universal
dan hakiki, moralitas merupakan aturan, kaidah baik dan buruk, simpati atas
fenomena kehidupan dan penghidupan orang lain, dan keadilan dalam bertindak.
Manusia bermoral berarti manusia yang menjadi pribadi yang utuh secara jasmani
dan rohani, serta mengetahui bagaimana seharusnya dia bertindak untuk
mengetahui, dan bagaimana seharusnya dia bertindak untuk menjadi pribadi yang
ideal dimata masyarakat.
Moralitas,
moralisasi, tindakan amoral, dan demoralisasi merupakan realitas hidup dan ada
disekitar kita. Menurut Ross Pole (1993), terkadang konsep moralitas itu telah
disingkirkan, meski tidak mungkin akan raib didunia ini. Konsep moralitas itu
akan menjadi konsep yang kita akui bisa memiliki tempat didalam suatu cara
hidup koheren, bermakna dan memuaskan bagi kita.[11]
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach)
adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman sosial dalam diri
peserta didik. Nilai-nilai sosial perlu ditanamkan kepada peesrta didik karena
nilai-nilai social berfungsi sebagai acuan bertingkah laku dalam berinteraksi
dengan sesama sehingga keberadaannya dapat diterima dimasyarakat. Sebagaimana
dirumuskan Raven, social values are set of
society attitude considered as a truth and it is become the standard for
people to act in order to achieve democratic and harmonius life.Artinya :
“Nilai-nilai social merupakan seperangkat sikap individu yang dihargai sebagai
suatu kebenaran dan dijadikan standar beritingkah laku guna memperoleh
kehidupan masyarakat yang demokratis dan harmonis”.
Prinsip
Pendekatan Penanaman Nilai Budi pekerti
1. Melibatkan
peserta didik secara aktif dalam belajar
2. Mendasarkan
pada perbedaan Individu
3. Mengaitkan
teori dengan praktik
4. Mengembangkan
komunikasi dan kerja sama dalam belajar
5. Meningkatkan
pembelajaran sambil berbuat dan bermain
6. Menyesuaikan
pelajaran dengan taraf perkembangan kognitif
C.
Pentingnya
pendidikan Moral Agama Sebagai Dasar Pendidikan Intelektual
Moral berasal dari
latin mores jamak dari kata mos yang berati adat, kebiasaan. Secara
terminologi moral adalah sesuai tindakan manusia dengan ide-ide umum yang
diterima mana yang baik dan wajar. Moral, atau dalam bahasa agama akhlak,
merupakan esensi dari semua ajaran yang diturunkan Tuhan.
Intelektual secara harfiah berasal dari kata bahasa
inggris’’intellectual’’ termasuk adjektive (kata sifat). Dalam fungsi sebagai
kata , berarti, intelektual, cerdik, cendikia. Dalam bahasa Arab, intelektual
adalah ﻋﺍقل-
Pendapat al-Ghazali tentang pendidikan
sejalan dengan dengan agama dan etika. Al-Ghazali juga tidak melupakan
masalah-masalah duniawi, karena ia diberi uang dalam sistem pendidikannya bagi
perkembangan duniawi. Tetapi dalam pandangannya, mempersiapkan diri untuk
masalah-masalah duniawi itu hanya dimaksudkan sebagai jalan menuju kebahagiaan
hidup di alam akhirat yang lebih utama dan kekal. Dunia adalah alat
(perkebunan) untuk kehidupan akhirat, sebagai alat yang akan mengantarkan
seseorang menemui Tuhannya[12].
Khususnya pendidikan agama di
sekolah merupakan lanjutan dari pendidikan informal, yakni pendidikan yang
dilaksanakan di lingkungan keluarga. Dalam hal ini, pendidikan agama di sekolah
mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu[13]
:
1)
Membina secara formal pendidikan agama yang telah dimulai di
rumah tangga, yaitu memupuk jiwa keagamaan yang telah dimiliki
2)
Mendorong terbentuknya kebiasaan dan sikap hidup menurut
ketentuan agama Islam.
3)
Menunjang tercapainya
Tujuan Pendidikan Nasional
D. Pendidikan Nasional
Sebagai Sebuah Sistem
Pendidikan nasional adalah pendidikan
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia
dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman[14].
Sistem pendidikan nasional adalah
keseluruhan kompenen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional[15].
Perkembangan
dunia pendidikan saat ini amat bergerak cepat, maka seluruh komponen pendidikan
harus terus diinovasi dan di kembangkan sesuai dengan paradigm baru yang terus
berkembang.
Ditinjau dari fungsinya, pendidikan nasional adalah
merupakan system pendidikan yang diselenggarakan oleh suatu Negara, kebangsaan
atau Negara nasional dalam rangka mewujudkan hak menentukan nasib sendiri atau right of self-determation bangsa
dalam bidang pendidikan.
Ditinjau dari strukturnya pendidikan nasional merupakan keseluruhan kegiatan dari
satuan-satuan pendidikan yang direncanakan, dilaksanakan dan dikendalikan dalam
rangka menunjang tercapainya tujuan nasional.
Adapun
sumber-sumber dari masyarakat yang menjadi masukan dalam sistem pendidikan
nasional adalah seperti informasi tentang penduduk, tenaga kependidikan,
pengetahuan atau ilmu, seni, teknologi, cita-cita dan barang-barang yang
digunakan dalam pendidikan, serta penghasilan nasional dan penghasilan
perkapita. Adapun masukan dalam bentuk tenaga yang mencakup penduduk yang
terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan nasional dan tenaga kependidikan yang
berkerja dalam system pendidikan nasional.[16]
Fungsi
tujuan pendidikan di Indonesia seperti tercantum dalam UUSPN No.20 Tahun 2003
Bab II pasal 3 disebutkan sebagai berikut : Pendidikan Nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta tanggung jawab.
E.
Pendidikan
Agama Sebagai Subsistem Pendidikan Nasional
Lembaga
pendidikan Islam, memiliki potensi dan peluang yang besar untuk berkembang
sepanjang lembaga tersebut mampu merespon secara positif terhadap seluruh perkembangan
paradigm tersebut.
Indonesia
sebagai Negara berkembang memiliki berbagai kesamaan dengan Negara-negara lain,
baik dalam bidang Ekonomi, Politik, Sosial maupun Budaya. Dalam bidang Ekonomi,
Indonesia masih tetap memberikan prioritas kepada sector pertanian dan industry
untuk menuju kepada masyarakat industri. Untuk pembinaan dan pengembangan
kebudayaan/kultur nasional, diusahakan secara terus-menerus guna memperkuat
kepribadian bangsa, mempertebal harga diri dan kebangsaan nasional serta memperkokoh
jiwa kesatuan nasional.
Pembangunan di
bidang agama di arahkan untuk meningkatkan iman dan takwa dalam hubungan secara
vertical terhadap Allah Swt. Dan horizontal terhadap sesame manusia, sehingga
terbinanya kerukunan beragama dalam usaha memperkokoh kesatuan bangsa dan
meningkatkan amal untuk bersama-sama membangun masyarakat.
Pendidikan Islam
sebagai bagian dari system pendidikan nasional, harus mampu menyesuaikan
visinya dengan visi pendidikan nasional tersebut. Dengan demikian, tamatan
pendidikan Islam tidak hanya dapat berkiprah di sector marginal dan
terpinggirkan, melainkan di sector yang lebih luas dan di perhitungkan orang.
Lulusan pendidikan seharusnya tidak hanya dapat “berenang di kolam yang sempit, melainkan berenang di samudra yang
luas”
Berdasarkan
tuntutan di atas. Maka pendidikan di Indonesia diarahkkan untuk mampu memenuhi
harapan tertentu, baik menyangkut ketenangan, pembinaan nasionalisme, pewaris
kultur bangsa, kehidupan beragama yang perumusannya di wujudkan melalui tujuan
pendidikan. Dengan demikian, jelas bahwa agama dilihat dari orientsi tujuan
merupakan salah satu komponen kurikulum yang di ajarkan kepada siswa dalam
rangka mencapai tijuan pendidikan nasional. Dalam hal ini, khusus bagi
pendidikan agama, tentulah di harapkan agar dapat memberikan napas bagi setiap
bidang studi untuk menciptakan kehidupan beragama di setiap jenjang dan tingkat
nasional.[17]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pentingnya pendidikan moral agama
dalam mendasari pendidikan intelektual, akan tetapi banyak masyarakat memandang
pendidikan moral agama dengan sebelah mata. Maka daritu tidak heran apabila banyak orang-orang yang berilmu atau
berpengetahuan, akan tetapi mereka tidak bermoral.
Dalam UU, tujuan dari system
pendidikan nasional salah satunya yaitu mewujudkan manusia yang berkualitas dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Itulah pentingnya pendidikan moral agama
untuk mendasari pendidikan intelektual.
Oleh:
Maratus Sholikah
DAFTAR
PUSTAKA
AR,Muhammad,
Pendidikan di Alaf Baru. Rekontruksi atas
Morallitas Pendidikan, Cet 1,Jogjakarta: PRISMA SOPHIE 2003
Danim,Sudarwan.
Pembaruan Sistem Pendidikan.
Jogjakarta:Pustaka Pelajar 2003
Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, Cet
II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2006.
Harahab,Syahrin.
Penegakan Moral akademik di Dalam dan di
Luar Kampus, Ed 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2005
Mudyharjo,Redja.
Pengantar pendidikan, Cet II,
Jakarta: Raja Grafindo Persada,2002.
Nata,
Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan
Islam seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, Cet 2, Jakarta: Raja Grafondo
Persada,2001.
Monks
dan Knoerst at all. Psikologi
Perkembangan; Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, Cet 14, Yogyakarta: Gajah
Mada Univercity Prees,2002.
Nn.
Undang-Undang dan Peraturan pemerintah RI
tentang Pendidikan, Jakarta:Direktorat Jendral Pendidikan Islam,2006.
Purwanto,
Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoretis Dan
Praktis, Cet 1,Bandung:Remaja Rosdakarya,2006.
Shaleh,
Abdul Rahman. Pendidikan Agama &
Pembangunan Watak bangsa, Ed 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2005.
Zubaedi.
Pendidikan Berbasas Masyarakat, Cet
1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005
[1] Ngalim
Purwanto, ILMU PENDIDIKAN TEORETIS DAN
PRAKTIS,Cet 1 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006) h.36-37
[3] Syahrin Harahap, Penegakan Moral Akademik di Dalam dan diluar
Kampus, Ed.1, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005) h. 105
[4] Zubaedi, Pendidikan
Berbasis Masyarakat, Cet 1, ( Yogyakarta :
Penerbit Pustaka pelajar, 2005 ), h. 4
[5] Muhammad
AR., Pendidikan di Alaf Baru. Rekontruksi
atas Moralitas Pendidikan, Cet. 1, (Jogjajarta : Penerbit PRISMASOPHIE 2003
), h. 100-102
[6] Sudarwan
Danim, Agenda Pembaharuan Sistem
Pendidikan, Cet II, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006 ), h. 73
[9] Monks
dan Knoers et all, Psikologi
Perkembangan; Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, Cet. 14, ( Yogyakarta :
GajahMada Univercity Press, 2002 ), h. 312-313
[12] Abuddin Nata, Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan Islam seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, Cet.2,(
Jakarta : Raja Grafindo Persada,2001,h.86-87
[14]Nn,Undang-undang
dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, (Jakarta : Direktorat
Jendral Pendidikan Islam ,2006),h.5
[15] Ibid.,h.5
[16] Redja
Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan,
Cet. II, ( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2002 ), h. 50-51
[17] Abdul
Rachman Shaleh, Pendidikan Agama &
Pembangunan Watak Bangsa, Ed.1 (Jakarta: RAJAGRAFINDO PERSADA, 2005) H.
55-57
MATUR SUWUN NGEH ?
BalasHapus