Rabu, 20 Juni 2012

makalah sosiologi pendidikan


MAKALAH
KORELASI PENDIDIKAN MORAL AGAMA SEBAGAI DASAR PENDIDIKAN INTELEKTUAL DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Dalam kondisi dilematis, keraguan masyarakat terhadap peran pendidikan muncul. “ Untuk meningkatkan kualitas dirinya saja susah, apalagi mengeluarkan bangsa ini dari krisis multidimensional.” Demikian yang ada dibenak masyarakat. Bahkan sebagian masyarakat yang ekstrim langsung berkesimpulan, krisis serba dimensi yang menggejala belakangan ini adalah bukti kegagalan pendidikan.
Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan atau cara lain dikenal dan diakui oleh masyarakat. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan Nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Untuk itu, seluruh kompenen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia.
pendidikan moral itu penting
Di antara paradigma baru pendidikan yang ditawarkan adalah paradigm pendidikan budi pekerti. Dengan bahasa lain, di dalam dunia pendidikan, aspek moral yang terwadahi dalam wilayah sikap (attitude) tampaknya agak terabaikan. Pelaksanaan pendidikan sangat berat sebelah kepada wilayah intelektual (kognitif). Padahal, sikap (moral/afektif) ini justru wilayah yang dapat memberikan keseimbangan atas kemampuan wilayah lainnya, seperti intelektual dan keterampilan (motorik). Dengan dasar sikap moral yang baik maka diasumsikan individu akan dapat mengendalikan pikiran dan prilakunya kea rah pemikiran dan kelakuan yang baik. Karena itu, moral sejatinya menjadi kualitas manusia “terdidik” yang memberikan kontribusi besra terhadap keseluruhan integrasi pribadi manusia pendidikan.

Di dalam Undang-Undang No.2 Tahun 1989 tentang system pendidikan Nasional, Bab 1 pasal 1 ayat (2) di sebutkan bahwa:”Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yang berdasarkan UUD 1945”.  Pernyataan ini mengandung arti bahwa semua aspek yang terdapat dalam sisitem pendidikan nasional akan mencerminkan aktivitas yang di jiwai oleh Pancasila dan UUD 1945 dan barakar pada kebudayaan bangsa Indonesia. Tujuan Pendidikan lebih di tekankan pada “Peningkatan kualitas manusia Indonesia yang bertakwa tehadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, dan menyadari bahwa setiap sektur pembangunan memerlukan partisipasi aktif dari mereka.[1]
Mengingat pentingnya pendidikan moral agama sebagai dasar pendidikan intelektual dalam sistem pendidikan nasional, maka penulis menuangkan dalam karya ilmiah dengan judul” KORELASI PENDIDIKAN MORAL AGAMA SEBAGAI DASAR PENDIDIKAN INTELEKTUAL DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL”.

B.       Rumusan Masalah
1.      Seberapa pentingnya pendidikan moral agama dalam pendidikan intelektual
2.      Apa yang menjadi peranan penting dalam system pendidikan nasional

C.       Tujuan dan Kegunaan
Tujuan
1.      Untuk mengetahui pentingnya pendidikan moral agama dalam pendidikan intelektual
2.      Untuk mengetahui apa yang menjadi peranan pentinng dalam system pendidikan nasional
Kegunaan
1.      Sebagai bahan deskripsi tentang pendidikan moral agama dalam pendidikan intelektual
2.      Sebagai informasi awal mengenai hubungan pendidikan moral agama dalam system pendidikan nasional




BAB II
PEMBAHASAN

A.  Konsep Pendidikan Budi Pekerti dan Pemahaman Moralitas
Pendidikan budi pekerti memiliki makna yang sama dengan pendidikan moral, pendidikan karakter, pendidikan akhala dan pendidikan nilai. Pendidikan budi pekerti merupakan pendidikan nilai-nilai luhur yang berakar dari agama, adat-istiadat dan budaya bangsa Indonesia dalam rangka mengembangkan kepribadian peserta didik supaya menjadi manusia yang baik. Secara umum, ruang lingkup pendidikan budi pekerti  adalah penanaman dan pengembangan nilai, sikap dan perilaku peserta didik sesuai nilai-nilai budi pekerti luhur. Di antara nilai-nilai yang perlu di tanam kan adalah sopan santun, kedisiplinan, berhati lapang, berhati lembut beriman dan bertakwa, berkemauan keras, bersahaja, bertanggung jawab, bertenggang rasa, jujur, mandiri, manusiawi, mencintai ilmu, dan lain sebagainya.
Dalam pengertian umum, moral adalah hal yang berhubungan erat dengan prinsip-prinsip pertimbangan tentang yang benar dan salah dalam kaitannya dengan prilaku atau karakter manusia. Kemudian, perilaku bermoral atau tidak, sangat ditentukan oleh sikap dan keyakinan atas kebenaran atau kebijakan dari peserta didik.
Pendidikan moral adalah bimbingan lahir batin secara bulat dan utuh untuk mencapai kesempurnaan kepribadian manusia, yang dapat dimanfestasikan dalam wujud perangai, kata-kata dan perbuatan untuk dirinya dan untuk orang lain atas dasar suara hati yang jujur dan benar.
Pada tata mikro, tabiat buruk kontemporer para pelajar telah mengalami pergeseran drastis. Sesungguhnya gejala yang  mencemaskan ini bukan semata monopoli Indonesia, melainkan fenomena internasional. di Amerika serikat, lebih dari lima puluh tahun lalu tabiat buruk para pelajar masih domonan sebatas dalam bentuk berbicara buruk secara seenaknya, brisik dalam kelas, di gang-gang serta mengunyah permen karet serta membuangya pada sembarang tempat kondisinya sudah berubah, dimana kejahatan disekolah menanjak naik sejalan dengan beragamnya bentuk kejahatan dimasyarakat , dimana hal itu telah menyebabkan kerugian ekstra besar. Para analis termasuk juga Toeiloe, cenderung melihat fenomena buruk ini bersumber dari kegagalan pendidikan moral dan budi pekerti atau kegagalan sekolah dalam memanusiawikan anak. Ada pula yang melabelinya sebagi aksentuasi kekeliruan orientasi sekolah yang lebih mengutamakan pengajaran intelektual daripada pendidikan dalam makna luas, dimana proses pendidikan cenderung bersifat driil dan rote learning, bukan dalam format pembelajan yang humanistic sejati.
Bahwa  akan ada kesulitan untuk mencari bukti empiric mengenai hubungan kegagalan pendidikan budi pekerti denga kejahatan siswa dan kejahatan di masyarakat pada umumnya, memperoleh letimigasi akademik. Karena variable kejahatan dimasyarakat dan di lingkungan pelajar sendiri terlalu riskan hanya direduksi sebagai kegagalan pendidikan budi pekerti di sekolah. Kita harus akui bahwa ada factor sekolah yang menyebabkan konflik psikologis  pada diri siswa, seperti evaluasi yang tidak hanya untuk memposisikan ketercapaian daya serap mereka terhadap mata ajaran. Melainkan juga memposisikanya pada tataran kelompok yang justru dapat menimbulkan beban psikologis ,konflik, dan rasa rendah diri, misalnya sebagaimana terlihat pada pelembagaan system pengikat atau rangking.[2]
Al-quran Al-karim menempatkan para ilmuwan pada posisi yang sangat tinggi. (Q.S Al-Mujadalah[58]:11). Akan tetapi, posisi strategi tersebut di barengi dengan keharusan  menegakkan keimanan, ketekwaan dan menegakkan moral, sebab kitab suci ini memendang orang yang berilmu sebagai komunitas paling bertakwa kapada Tuhan (Q.S Fathir [35]:28). Beradasarkan kemestian logika semacam ini, maka Islam, menempatkan  penegakan moral diatas ilmu pengetahuan sebagaimana statemen yang sangat terkenal di kalangan umat ini. “Moralitas berrada di atas ilmu”.[3]


Dua aspek yang menjadi orientalis pendidikan budi pekerti.
1.      Membimbing hati nurani peserta didik agar berkembang lebih positif secara bertahap dan berkesinambungan.
2.      Memupuk, mengembangkan, menanamkan nilai-nilai dan sifat-sifat positif ke dalam pribadi peserta didik.[4]

v  Pandangan Islam Terhadap Moral
Tidak ada konsep moral dalam Islam, yang ada hanyalah konsep akhlak. Moral adalah nilai yang terdapat dalam agama selain Islam. Sedangkann Islam sendiri menggunakan perkataan akhlak yang berhubungan dengan tingkah laku. Agama yng sangat mementingkan nilai moral adalah agama Islam. Nabi Muhammad adalah seorang Rosul yang di utus oleh Allah ke dunia ini untuk ini untuk menyampailan risalah Islamiyah. Persoalan yang di benahi oleh rosul adalah akhlak moral etika atau adab.[5]
Lawrence Kohlberg (1995) menulis bahwa kebanyakan guru tidak menyadari sepenuhnya bahwa mereka seharusnya berurusan dengan persoalan-persoalan pendidikan moral. Tradisi hidup yang materialistic tidak menjadikan moralitas sebagai anutan, tapi kekayaan yang dijadikan ukuran kemuliaan dan kehormatan, betapapun hal tersebut tidak membangun dan memperbesar system pendidikan yang dapat membangkitkan dan menghasilkan moral spiritual masyarakat.
Lembaga pendidikan terus mengalami modernisasi, namun bersamaan dengan itu, pendidikan modern makin diberi makna sebagai pendidikan sekuler yang menyamakan cara pengajaran mata ajar agama dengan non agama seperti matematika dan geografi. Disinilah perlu tampil pendidik muslim sejati, yaitu mereka yang memahami tata nilai, menemukan identitas, membangun kebersamaan, dan menjauhkan diri dari sikap arogan bukanlah sebagai tugas tambahan.[6]
Benturan kultural selalu menyertai usaha-usaha untuk membangun masyarakat bermoral. Di setiap Negara, pengaruh media massa atau media pemberitaan jauh lebih luas dan kuat daripada system pendidikan, termasuk system pendidikan Islam.[7]

v  Pemahaman Moral dalam Masyarakat Barat
Yang sering terungkap dalam mengambil keputusan dan memberikan pendapat tentang  apa yang benar dan apa yang salah, apa yang baik dan apa yang buruk. Inilah yang di maksud dengan moral dalam persepektif orang Barat Kristen secara umum. Perkataan yang benar, bekerja semestinya demi untuk mendapat gaji, berupaya membantu mengurangi penderitaan orang lain, berani , adil, dan tdak mementingkan diri sendiri, adalah semua contih keyakinan moral yang di anut oleh kebanyakan orang Barat.[8]

B.  Perkembangan dan Gejala Kontras Moralitas
Mengingat pentingnya pendidikan moralitas justru cenderung pada masa remaja. Furter (1965) beranggapan bahwa kehidupan moral merupakan problematika dalam masa remaja. Dalam tingkatan nol anak menganggap baik apa yang sesuai dengan permintaan dan keinginannya. Tingkatan ini bersamaan dengan stadium sensori/motorik dalam perkembangan intelegency menurut Piaget. Sesudah tingkatan ini datanglah kedua tingkatan yaitu oleh Kohlberg disebut pra-konvensional. Anak menanggap baik atau buruk atas dasar akibat yang ditimbulkan oleh suatu tingkah laku. Hadiah atau hukuman (stadium 1). Anak mengikuti apa yang dikatakan baik atau buruk untuk memperoleh hadiah atau menghindari hukuman ini disebut hedonism instrumental (stadium 2). Dalam stadium 3 akan dinilai baik apa yang dapat menyenangkan dan disetujui oleh orang lain dan buruk apa yang ditolak oleh orang lain. Kemudian stadium 4 tumbuh semacam kesadaran akan kewajiban dalam arti ingin mempertahankan kekuasaan dan aturan-aturan yang ada karena diangapnya berharga, tetapi belum dapat mempertanggungjawabkan secara pribadi. Originalitas remaja juga Nampak dalam hal itu. Pertama, remaja masih mau diatur secara ketat oleh hukum-hukum umum yang lebih tinggi (stadium 5). Kemudian datanglah penginternalisasian moral yaitu remaja melakukan tingkah laku moral yang dikemudikan oleh tanggung jawab batin sendiri (stadium 6).[9]
Pendidikan sejatinya merupakan proses pembentukan moral masyarakat beradab, masyarakat yang tampil dengan wajah kemanusiaan dan pemanusiaan yang normal. Kata lainnya, pendidikan adalah moralisasi masyarakat, terutama peserta didik. Pendidikan yang dimaksudkan disini lebih dari sekedar sekolah (education not only education as schooling), melainkan pendidikan sebagai jarring-jaring kemasyarakatan (education as community network). Sejatinya, pendidikan persekolahan memfokuskan diri pada pembentukan kemampuan nalar intelektual dan keterampilan motoris. Pembentukan nalar emosional dan afeksi, termasuk prilaku bermoral untuk sebagian besar menjadi tugas pendidikan dalam makna jaring-jaring kemasyarakatan itu.[10]
Di dalam suatu budaya atau kultur suatu bangsa, sistem nilai merupakan landasan atau tujuan dari kegiatan sehari-hari yang menentukan dan mengarahkan bentuk, corak, intensitas, kelentururan (fleksibel), perilaku seseorang atau kelompok orang, sehingga menghasilkan bentuk-bentuk produk materi seperti benda-benda budaya maupun bentuk-bentuk yang bersifat non materi yang dinyatakan  dalam gerak atau pendapat seseorang yang bersifat non materi, kegiatan-kegiatan kebudayaan dan kesenian, atau pola dan konsep berpikir yang keseluruhannya disebut budaya atau kultur.
Secara universal dan hakiki, moralitas merupakan aturan, kaidah baik dan buruk, simpati atas fenomena kehidupan dan penghidupan orang lain, dan keadilan dalam bertindak. Manusia bermoral berarti manusia yang menjadi pribadi yang utuh secara jasmani dan rohani, serta mengetahui bagaimana seharusnya dia bertindak untuk mengetahui, dan bagaimana seharusnya dia bertindak untuk menjadi pribadi yang ideal dimata masyarakat.
Moralitas, moralisasi, tindakan amoral, dan demoralisasi merupakan realitas hidup dan ada disekitar kita. Menurut Ross Pole (1993), terkadang konsep moralitas itu telah disingkirkan, meski tidak mungkin akan raib didunia ini. Konsep moralitas itu akan menjadi konsep yang kita akui bisa memiliki tempat didalam suatu cara hidup koheren, bermakna dan memuaskan bagi kita.[11]
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman sosial dalam diri peserta didik. Nilai-nilai sosial perlu ditanamkan kepada peesrta didik karena nilai-nilai social berfungsi sebagai acuan bertingkah laku dalam berinteraksi dengan sesama sehingga keberadaannya dapat diterima dimasyarakat. Sebagaimana dirumuskan Raven, social values are set of  society attitude considered as a truth and it is become the standard for people to act in order to achieve democratic and harmonius life.Artinya : “Nilai-nilai social merupakan seperangkat sikap individu yang dihargai sebagai suatu kebenaran dan dijadikan standar beritingkah laku guna memperoleh kehidupan masyarakat yang demokratis dan harmonis”.
Prinsip Pendekatan Penanaman Nilai Budi pekerti
1.      Melibatkan peserta didik secara aktif dalam belajar
2.      Mendasarkan pada perbedaan Individu
3.      Mengaitkan teori dengan praktik
4.      Mengembangkan komunikasi dan kerja sama dalam belajar
5.      Meningkatkan pembelajaran sambil berbuat dan bermain
6.      Menyesuaikan pelajaran dengan taraf perkembangan kognitif

C.      Pentingnya pendidikan Moral Agama Sebagai Dasar Pendidikan Intelektual
Moral berasal dari latin mores jamak dari kata mos yang berati adat, kebiasaan. Secara terminologi moral adalah sesuai tindakan manusia dengan ide-ide umum yang diterima mana yang baik dan wajar. Moral, atau dalam bahasa agama akhlak, merupakan esensi dari semua ajaran yang diturunkan Tuhan.
Intelektual secara harfiah berasal dari kata bahasa inggris’’intellectual’’ termasuk adjektive (kata sifat). Dalam fungsi sebagai kata , berarti, intelektual, cerdik, cendikia. Dalam bahasa Arab, intelektual adalah ﻋﺍقل-
Pendapat al-Ghazali tentang pendidikan sejalan dengan dengan agama dan etika. Al-Ghazali juga tidak melupakan masalah-masalah duniawi, karena ia diberi uang dalam sistem pendidikannya bagi perkembangan duniawi. Tetapi dalam pandangannya, mempersiapkan diri untuk masalah-masalah duniawi itu hanya dimaksudkan sebagai jalan menuju kebahagiaan hidup di alam akhirat yang lebih utama dan kekal. Dunia adalah alat (perkebunan) untuk kehidupan akhirat, sebagai alat yang akan mengantarkan seseorang menemui Tuhannya[12].
Khususnya pendidikan agama di sekolah merupakan lanjutan dari pendidikan informal, yakni pendidikan yang dilaksanakan di lingkungan keluarga. Dalam hal ini, pendidikan agama di sekolah mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu[13] :
1)                  Membina secara formal pendidikan agama yang telah dimulai di rumah tangga, yaitu memupuk jiwa keagamaan yang telah dimiliki
2)                  Mendorong terbentuknya kebiasaan dan sikap hidup menurut ketentuan agama Islam.
3)                   Menunjang tercapainya Tujuan Pendidikan Nasional

D.  Pendidikan Nasional Sebagai Sebuah Sistem
Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman[14].
Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan kompenen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional[15].
Perkembangan dunia pendidikan saat ini amat bergerak cepat, maka seluruh komponen pendidikan harus terus diinovasi dan di kembangkan sesuai dengan paradigm baru yang terus berkembang.
Ditinjau dari fungsinya, pendidikan nasional adalah merupakan system pendidikan yang diselenggarakan oleh suatu Negara, kebangsaan atau Negara nasional dalam rangka mewujudkan hak menentukan nasib sendiri atau right of self-determation bangsa dalam bidang pendidikan.
Ditinjau dari strukturnya pendidikan nasional merupakan keseluruhan kegiatan dari satuan-satuan pendidikan yang direncanakan, dilaksanakan dan dikendalikan dalam rangka menunjang tercapainya tujuan nasional.
Adapun sumber-sumber dari masyarakat yang menjadi masukan dalam sistem pendidikan nasional adalah seperti informasi tentang penduduk, tenaga kependidikan, pengetahuan atau ilmu, seni, teknologi, cita-cita dan barang-barang yang digunakan dalam pendidikan, serta penghasilan nasional dan penghasilan perkapita. Adapun masukan dalam bentuk tenaga yang mencakup penduduk yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan nasional dan tenaga kependidikan yang berkerja dalam system pendidikan nasional.[16]
Fungsi tujuan pendidikan di Indonesia seperti tercantum dalam UUSPN No.20 Tahun 2003 Bab II pasal 3 disebutkan sebagai berikut : Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta tanggung jawab.

E.       Pendidikan Agama Sebagai Subsistem Pendidikan Nasional
Lembaga pendidikan Islam, memiliki potensi dan peluang yang besar untuk berkembang sepanjang lembaga tersebut mampu merespon secara positif terhadap seluruh perkembangan paradigm tersebut.
Indonesia sebagai Negara berkembang memiliki berbagai kesamaan dengan Negara-negara lain, baik dalam bidang Ekonomi, Politik, Sosial maupun Budaya. Dalam bidang Ekonomi, Indonesia masih tetap memberikan prioritas kepada sector pertanian dan industry untuk menuju kepada masyarakat industri. Untuk pembinaan dan pengembangan kebudayaan/kultur nasional, diusahakan secara terus-menerus guna memperkuat kepribadian bangsa, mempertebal harga diri dan kebangsaan nasional serta memperkokoh jiwa kesatuan nasional.
Pembangunan di bidang agama di arahkan untuk meningkatkan iman dan takwa dalam hubungan secara vertical terhadap Allah Swt. Dan horizontal terhadap sesame manusia, sehingga terbinanya kerukunan beragama dalam usaha memperkokoh kesatuan bangsa dan meningkatkan amal untuk bersama-sama membangun masyarakat.
Pendidikan Islam sebagai bagian dari system pendidikan nasional, harus mampu menyesuaikan visinya dengan visi pendidikan nasional tersebut. Dengan demikian, tamatan pendidikan Islam tidak hanya dapat berkiprah di sector marginal dan terpinggirkan, melainkan di sector yang lebih luas dan di perhitungkan orang. Lulusan pendidikan seharusnya tidak hanya dapat “berenang di kolam yang  sempit, melainkan berenang di samudra yang luas”
Berdasarkan tuntutan di atas. Maka pendidikan di Indonesia diarahkkan untuk mampu memenuhi harapan tertentu, baik menyangkut ketenangan, pembinaan nasionalisme, pewaris kultur bangsa, kehidupan beragama yang perumusannya di wujudkan melalui tujuan pendidikan. Dengan demikian, jelas bahwa agama dilihat dari orientsi tujuan merupakan salah satu komponen kurikulum yang di ajarkan kepada siswa dalam rangka mencapai tijuan pendidikan nasional. Dalam hal ini, khusus bagi pendidikan agama, tentulah di harapkan agar dapat memberikan napas bagi setiap bidang studi untuk menciptakan kehidupan beragama di setiap jenjang dan tingkat nasional.[17]














BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pentingnya pendidikan moral agama dalam mendasari pendidikan intelektual, akan tetapi banyak masyarakat memandang pendidikan moral agama dengan sebelah mata. Maka daritu tidak heran  apabila banyak orang-orang yang berilmu atau berpengetahuan, akan tetapi mereka tidak bermoral.
Dalam UU, tujuan dari system pendidikan nasional salah satunya yaitu mewujudkan manusia yang berkualitas dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Itulah pentingnya pendidikan moral agama untuk mendasari pendidikan intelektual.


Oleh:
Maratus Sholikah













DAFTAR PUSTAKA

AR,Muhammad, Pendidikan di Alaf Baru. Rekontruksi atas Morallitas Pendidikan, Cet 1,Jogjakarta: PRISMA SOPHIE 2003
Danim,Sudarwan. Pembaruan Sistem Pendidikan. Jogjakarta:Pustaka Pelajar 2003
                              Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, Cet II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2006.
Harahab,Syahrin. Penegakan Moral akademik di Dalam dan di Luar Kampus, Ed 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2005
Mudyharjo,Redja. Pengantar pendidikan, Cet II, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2002.
Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, Cet 2, Jakarta: Raja Grafondo Persada,2001.
Monks dan Knoerst at all. Psikologi Perkembangan; Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, Cet 14, Yogyakarta: Gajah Mada Univercity Prees,2002.
Nn. Undang-Undang dan Peraturan pemerintah RI tentang Pendidikan, Jakarta:Direktorat Jendral Pendidikan Islam,2006.
Purwanto, Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoretis Dan Praktis, Cet 1,Bandung:Remaja Rosdakarya,2006.
Shaleh, Abdul Rahman. Pendidikan Agama & Pembangunan Watak bangsa, Ed 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2005.
Zubaedi. Pendidikan Berbasas Masyarakat, Cet 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005


[1] Ngalim Purwanto, ILMU PENDIDIKAN TEORETIS DAN PRAKTIS,Cet 1 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006) h.36-37
[2]  Sudarwan Danim, Pembaruan Sistem Pendidikan, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2003), Hal 157-158
[3] Syahrin Harahap, Penegakan Moral Akademik di Dalam dan diluar Kampus, Ed.1, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005) h. 105
[4] Zubaedi,  Pendidikan Berbasis Masyarakat, Cet 1, ( Yogyakarta :  Penerbit Pustaka pelajar, 2005 ), h. 4

[5] Muhammad AR., Pendidikan di Alaf Baru. Rekontruksi atas Moralitas Pendidikan, Cet. 1, (Jogjajarta : Penerbit PRISMASOPHIE 2003 ), h. 100-102
[6] Sudarwan Danim, Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan, Cet II, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006 ), h. 73
[7] Ibid., h. 74
[8] Ibid., h. 102
[9] Monks dan Knoers et all, Psikologi Perkembangan; Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, Cet. 14, ( Yogyakarta : GajahMada Univercity Press, 2002 ), h. 312-313
[10] Ibid., h. 64
[11] Ibid., h. 65
[12] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, Cet.2,( Jakarta : Raja Grafindo Persada,2001,h.86-87
[14]Nn,Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, (Jakarta : Direktorat Jendral Pendidikan Islam ,2006),h.5
[15] Ibid.,h.5
[16] Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, Cet. II, ( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2002 ), h. 50-51
[17] Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama & Pembangunan Watak Bangsa, Ed.1 (Jakarta: RAJAGRAFINDO PERSADA, 2005) H. 55-57

1 komentar: