Anak
Jalanan dan Subkultur: Sebuah Pemikiran Awal
Dalam kesempatan ini, kita akan mempercakapkan
gagasan mengenai subkultur. Seperti kita kenali bersama, tema ini salah satu
yang diabaikan dalam perbincangan mengenai masyarakat Indonesia
modern. Untuk itu sejak awal saya ingin berterus terang bahwa apa yang saja
sajikan masih menyentuh bagian-bagian pinggirnya saja. Subjek yang saya pilih
dalam percakapan kali ini adalah kehidupan sebagian kalangan anak muda yang
berada di jalanan. Dalam kata lain, melihat kehidupan anak muda di jalan
sebagai satu subkultur. Sebuah subkultur selalu hadir dalam ruang dan waktu
tertentu, ia bukanlah satu gejala yang lahir begitu saja. Kehadirannya akan
saling kait mengkait dengan peristiwa-peristiwa lain yang menjadi konteksnya.
Untuk memudahkan kita memahami gagAsan mengenai subkultur anak muda jalanan,
maka saya akan memulai dengan satu upaya membuat peta antara hubungan anak muda
dan orang tua serta kultur dominan sebagai kerangkanya. Sekurang-kurangnya ada
dua pihak yang -berkat dukungan modal yang melekat pada dirinya- berupaya
mengontrol kehidupan kaum muda, yaitu negara dan industri berskala
besar.
Di Indonesia, pihak pertama yaitu negara berupaya
mengontrol kehidupan anak muda melalui keluarga. Keluarga dijadikan agen oleh
negara untuk sebagai saluran untuk melanggengkan kekuasaan. Melalui UU No.
10/1992 diambil satu keputusan yang menjadikan keluarga sebagai alat untuk
mensukseskan pembangunan. Keluarga tidak hanya dipandang hanya memiliki fungsi
reproduktif dan sosial melainkan juga fungsi ekonomi produktif. Pengambilan
keputusan keluarga dijadikan alat untuk mensukseskan pembangunan pada
gilirannya membawa perubahan pada posisi anak-anak da.n kaum muda dalam
masyarakat. Anak-anak dan kaum muda dipandang sebagai satu aset nasional yang
berharga. Oleh karena itu investasi untuk menghasilkan peningkatan modal
manusia (human capital) harus sudah disiapkan sejak sedini mungkin. Dalam hal
tugas orang dewasa adalah melakukan penyiapan-peyiapan agar seorang anak bisa
melalui masa transisinya menuju dewasa. Akibatnya ada pemisahan yang jelas
antara masa anak-anak dan masa muda dengan masa dewasa. Adalah tugas orang tua
untuk memberikan pemenuhan gizi yang dibutuhkan, mengirim ke sekolah sebagai
bagian dari penyiapan masa transisi. Saya Shiraishi (1995) yang banyak
mengamati kehidupan keluasga dan masa kanak-kanak dalam masyarakat Indonesia
mutakhir mengatakan bahwa implikasi lebih lanjut dari gagasan keluarga modern
itu pada akhirnya menempatkan anak-anak sepenuhnya dibawah kontrol orang tua.
Orang tua menjadi kuatir bila anaknya tidak mampu melewati masa transisi dengan
baik, misalnya putus sekolah, dan akan terlempar menjadi kaum "TUNA"
(tuna wisma, tuna susila dan tuna lainnya), kaum yang kehidupannya ada di jalanan.
Kekuatiran ini bisa dilihat secara jelas dengan streotipe mengenai
kehidupanjalanan sebagai kehidupan "liar". Bukanlah satu hal yang
mengada-ada bila kemudian para. orang tua lebih memilih untuk memperpanjang
proteksi anak-anaknya untuk berada di dalam rumah sebab lingkungan di luar
rumah dianggap sebagai"liar" dan mengancam masa depan anaknya.
Pilihan untuk memperpanjang masa proteksi anak-anak inilah yang kemudian
ditangkap sebagai peluang dagang oleh para pengusaha. Belakangan ini dengan
mudah kita bisa melihat berbagai produk atau media untuk membantu penyiapan
masa transisi anak-anak. Program televisi yang jelas menggunakan kata
(televisi) PENDIDIKAN INDONESIA
adalah salah satu contoh terbaiknya. Selain itu berbagai media cetak juga
mengeluarkan berbagai produk bagaimana menyiapkan anak secara "baik dan
benar" dalam rangka pengembangan sumber daya pembangunan. Para orang tua pada. gilirannya akan lebih mengacu pada
berbagai media itu sendiri dibandingkan pada peristiwa sehari-hari yang dialami
oleh anaknya. Cara membesarkan anak yang diimajinasikan oleh negara dan pemilik
modal inilah yang kemudian menjadi wacana penguasa (master discourse) untuk
anak-anak Indonesia.
Ia digunakan sebagai alat untuk menilai kehidupan keseluruhan anak dan kaum
muda di Indonesia.
Hasilnya seperti yang ditunjukkan Murray (1994)
adalah mitos kaum marjinal: yang dari sudut pandang orang luar menggambarkan
orang-orang ini sebagai massa
marjinal yang melimpah ruah jumlahnya dengan budaya kemiskinan dan sebagai
lingkungan liar, kejam dan kotor ... sumber pelacuran, kejahatan dan
ketidakamanan.
Murray
tidaklah sendirian dalam memberikan adanya dikotomi rumah dan jalan. Studi
Siegel (1986), Saya Shiraishi (1990) dan Jerat Budaya (1998) menunjukkan temuan
yang sama. Studi Marquez ( 1998) mengenai kaum muda jalanan di Caracas menunjukkan bahwa anak muda itu tidak
secara pasif menerima begitu saja pandangan negatif dari luar. Jalan raya
bukanlah sekedar tempat untuk bertahan hidup. Bagi kaum muda tersebut jalanan
juga arena untuk menciptakan satu organisasi sosial, akumulasi pengetahuan dan
rumusan strategi untuk keberadaaan eksistensinya. Artinya ia juga berupaya
melakukan penghindaran atau melawan pengontrolan dari pihak lain. Bertolak dari
gambaran sekilas di atas, saya akan menempatkan percakapan mengenai subkultur
anak jalanan di Indonesia
dalam titik potong antara dikotomi rumah dan jalan di satu sisi dan orang tua
(kaum dewasa) dengan anak muda di sisi lain. Fokus dari percakapan kali ini
untuk sementara saya batasi bagaimana corak mode kehidupan yang ditampilkan
oleh kaum muda yang besar di jalan yang kemudian bertumbuh menjadi subkultur.
Meninggalkan Rumah, Menanggalkan Masa Lalu Sebuah sebuah kategori sosial, anak
jalanan bukanlah satu kelompok yang homogen. Sekurang-kurangnya ia bisa dipilah
ke dalam dua kelompok yaitu anak yang bekerja di jalan dan anak yang hidup di
jalan. Perbedaan diantaranya ditentukan berdasarkan kontak dengan keluarganya.
Anak yang bekerja di jalan masih memiliki kontak dengan orang tua sedangkan anak
yang hidup di jalan sudah putus hubungan dengan orang tua. Dalam tulisan ini,
anak jalanan mengacu pada kategori anak yang hidup di jalan. Seorang anak
jalanan yang sudah hampir dua puluh tahun hidup di jalan menuturkan
pengalamannya pergi dari rumah. Katanya waktu kecil ia banyak ngeluyur
dibanding sekolah, lebih banyak bermain dari pada belajar. Akibatnya,
teman-temannya sudah naik ke kelas tiga ia masih saja duduk dibangku kelas
satu. Buat sebagian anak pergi ke sekolah tidaklah selalu berarti pengalaman
yang menyenangkan. Seorang anak lain N bila mengingat sekolah maka yang muncul
adalah gurunya yang galak dan tubuhnya yang menjadi sasaran sabetan.
Katanya: Waktu saya sekolah saya digebugin karena di
sekolah saya goblog. Di bawa ke kantor karena.sering nonton Th lalu disuruh
membaca di papan tulis tidak bisa. Di sabet badanku. Pak guru saya galak. Lalu
saya keluar kelas tiga. Keadan murid-murid bermasalah seperti itu biasanya
dilaporkan oleh guru kepada orang tua murid. Laporan itu bisa menjadi penyulut
kemarahan orang tua. Seperti yang dituturkan H: dan pak guru saya sering datang
menemui orang tua saya menceritakan keadaan saya. Saya dimarahi bapak tidak
hanya dengan suara tetapi juga digebugi pakai sapu lidi sampai merah kaki saya
Berbagai penyuluhan, berita TV dan radio secara bertubi-tubi telah mengajar
para orang tua memlaui pembatinan bahwa anak yang baik adalah anak sekolahan.
Karena itu wajar saja bila guru tidak mampu lagi mendidik anaknya, maka orang
tualah yang akan meng(H)ajar anaknya. Hasilnya seperti H dan N lari
meninggalkan rumah. Ketika pertama kali hadir di jalan, seorang anak menjadi
anonim. Ia tidak mengenal dan dikenal oleh siapapun. Selain itu juga ada
perasan kuatir bila orang lain mengetahui siapa dirinya. Tidaklah mengherankan bila
strategi yang kemudian digunakan adalah dengan menganti nama. Hampir semua anak
yang saya kenal mengganti nama. Hal ini dilakukan untuk menjaga jarak dengan
masa lalunya sekaligus masuk dalam masa kekiniannya. Anak-anak mulai memasuki
dunia jalanan dengan nama barunya. Anak-anak yang berasal dari daerah pedesaan
menggganti dengan nama-nama yang dianggap sebagai nama "modern" yang
diambil dari bintang sinotren atau yang yang biasa didengarnya misalnya dengan
anam Andi, Roy
dan semacamnya. Seorang anak yang bernama Mohammad kemudian mengganti namanya
menjadi Roni. Alasan yang diberikan karena Mohammad adalah nama nabi. Nama itu
tidak cocok dengan kehidupan di jalan. karena yang dilakukan di jalan banyak
tindakan haram. Proses penggantian sebutan itu dengan sendirinya menunjukkan
bahwa ia bukan sekedar pergantian panggilan saja tetapi juga sebagai sarana
menanggalkan masa lalunya. Artinya ia dalah bagian dari proses untuk memasuki
satu dunia (tafsir) baru. Sebuah kehidupan yang merupakan konstruksi dari pengalaman
sehari-hari di jalan. Corak Mode Kehidupan Menolak Tetap (Anak) Kecil Anak
jalanan menggunakan tubuhnya sendiri sebagai sarana. untuk ekspresi diri
sekaligus sub-versi. Pada tingkat permukaan ditunjukkan perbedaan-perbedaan
oleh mereka sekaligus menegaskan pertentangan dengan negara dan masyarakat
sekitarnya (lihat Hebdige, 1979).
Tubuh dijadikan sumber produksi dan aktivitas
komunikasi dan menjadi lokasi pengetahuan yang krusial bagi komunitas dan hal
ini membantu tewrjadinya produksi makna bagi kelompoknya. Melalui pencarian dan
tingkah laku yang berbeda itu secara sengaja anak jalanan menolak dan
mengejutkan kultur dominannya dengan mensub-versi nilai-nilai utamanya. Ketika
mulai tumbuh lebih besar, menampilkan nilai-nilai kejantanan merupakan aspek
yang vital bagi anak-anak jalanan. Mereka secara teratur mulai berpartisipasi
menyusun konstruksi kejantanan dengan mendiskusikan berbagai peran yang
dilakukan oleh anak lain serta mengomentari penampilarmya. Meski secara sosial
mereka dikategorikan sebagai anak (kecil), hampir semuanya mengadopsi
bentuk-bentuk kedewasaan sebagai tanda pembangkanangan dari harapan-harapan
yang ditentukan oleh masyarakat. Mereka memainkan peran yang selama ini
dijalankan oleh kaum dewasa yang ada di sekitarnya, menenggak minuman keras,
ngepil, judi serta menggemari free sex. Kebiasaan-kebiasaan yang dianggap tidak
cocok untuk dilakukan oleh anak justru dianggap mampu membuat mereka merasa
tumbuh dewasa dan menjadi jantan. Judi, misalnya, merupakan permainan yang
populer, meski dianggap ilegal dan dimainkan di tempat-tempat tersembunyi.
Rata-rata mereka mengaku menikmati permainan judi karena melibatkan resiko
dalam pertaruhan, ketrampilan serta konsentrasi dan bila memenangkan permainan,
ada rasa bangga menempati posisi puncak dari hasil permainan. Selain itujuga
mendapatkan uang yang relatif banyak. Seorang dewasa yang sering memperhatikan
dan bergaul dengan anak-anak jalanan mengatakan bahwa jika dilarang untuk
melakukan tindakan tertentu, maka anak-anak jalanan itu seperti disuruh. Apa
pun akan dilakukan untuk menentangnya. Katanya, itu bagian dari indentitas
pembangkangan. Atau dalam kata lain menolak dianggap (anak) kecil terus. Gaya
Pakaian dan Dandanan Tubuh Satu kali, H ( 12 tahun) mendapatkan uang cukup
banyak dari hasil nyemirnya. Uang itu dibelikan kaos dan celana. jeans. Dengan
pakaian baru yang bersih itu kemudian pergi menyemir. Ternyata dengan pakaian
bersih semacam itu, tak banyak orang yang mau menyemirkan sepatunya. Berbeda
dengan ketika ia memakai pakaian kotor, justru banyak orang yang mau
menyemirkan sepatunya. Hal ini menunjukkan adanya satu pertentangan, di satu
sisi masyarakat umum menginginkan mereka tampil secara "bersih",
namun bila tampil dengan cara semacam ini maka ia tidak mendapatkan uang yang cukup.
Berbeda dengan bila ia menggunakan pakaian kumal, orang tidak menyukai tetapi
menghasilkan uang yang cukup. Situasi semacam itu menyebabkan anak-anak
kemudian menggembangkan satu trend cara berpakaian yang cukup khas. Mereka
kemudian lebih banyak mengadopsi cara berpakaian dari pengamen dewasa, turis
asing atau dari film atau majalah yang dilihat. Salah satu yang cukup populer
adalah gaya
rasta yang disimbolkan melalui warna merah kuning dan biro dengan simbol daun
ganja. Dan simbol itu ditampilkan di tato, di pakaian dan lainnya. Kata mereka
rasta cocok dengan anak jalanan. Karena jalanan juga menciptakan orang kaya Bob
Marley. Nongkrong di jalan, menghisap ganja, main gitar. Anak jalanan pengin
seperti dia. Bukanlah satu hal mengherankan beberapa diantara mereka juga
menggunakan model rambut dreadlocks. Pilihan lain adalah memanjangkan
rambutnya. Di Indonesia, rambut panjang merupakan kebalikan dari model rambut
para orang tua. Tidak banyak orang tua yang berambut gondrong. Gondrong
merupakan citra anak muda. Selain itu dari pihak kemanan gondrong sering
diasumsikan sebagai preman. Bila tidak gondrong, sebagian diantaranya justru
memilih melicin tandaskan rambutnya. Artinya dari pilihan atas model rambutnya
mereka tidak pernah sama dengan yang berlaku dalam masyarakat umum, potongan
rambut yang rapi. Dalam kata lain untuk menunjukkan bahwa merekalah yang
mengontrol urusan rambut. Selain rambut, tatto merupakan satu bentuk lain dari
cara menampilkan diri. Sebagian anak melawankan tubuh yang bertatto dengan
tubuh yang "bersih". Meski dikalangan umum memiliki tatto disamakan
dengan preman, namun dikalangan anak jalanan ia memiliki makna yang berbeda.
Beberapa anak mengatakan bahwa tatto merupakan penanda dari "show of
force" sekaligus lambang "keras" dan jantan. Sebagian dari
mereka membuat tatto sebagai satu tanda untuk menyimpan ingatan tertentu.
Beberapa anak membua,t tatto sebagai satu inggatan atas peristiwa perginya
seorang volunter ke negara asalnya dan juga peristiwa lain. Dalam beberapa hal
bisa dikatakan bahwa kecenderungan berpakaian atau mentato tubuhnya juga
menindik tubuhnya untuk dipasangi anting-anting baik di telingga, alis mata,
pusar atau tempat lain tidak bisa dipisahkan dengan relasinya dengan cara
penampilan yang normatif. Alternatif yang digunakan oleh anak jalanan tidak
bisa tidak berada dalam dikhotomi bersih dan kumal. Menjadi "bersih"
bisa jadi justru akan mengancam survival mereka di jalan. Artinya masyarakat
dan anak-anak jalanan itu sendiri saling menjaga dengan tegas batas-batas yang
mereka inginkan. (Penyalah)Guna(an) Obat dan Minuman Alkohol Menenggak minuman
keras dan pil adalah satu kebiasaan yang dilakukan selama di jalan. Alasan yang
diberikan adalah untuk melupakan masalah. Beberapa studi mengenai anak jalanan
secara gamblang menunjukkan berbagai tekanan yang dialami oleh anak jalanan.
Secara ekonomi mereka harus bekerja dalam jam kerja yang cukup panjang, secara
sosial ia diletakkan sebagai sampah masyarakat, secara hukum keberadaannya
melanggar pasal 505 KUHP. Bukanlah satu hal yang mengadaada bila mereka merasa
tidak pernah merasa (ny)aman dalam kehidupan sehariharinya. Tindakan-tindakan
yang dipilih ini akan membawa anak-anak pada masalah hukum, karena semua
tindakan ini dianggap melanggar hukum. T ( 14) memberikan alasan bahwa sebelum
bekerja ia mabuk dulu untuk menghilangkan rasa malu. Karena sebetulnya ia
gengsi kalau harus jadi pengamen. Dengan demikian selain sebagai strategi
ekonomi, mabuk akhirnya menimbulkan sikap cuek (tidak peduli) dengan aturan
hukum. Secara umum, tindakan semacam ini sering dikatakan sebagai penyalah
gunaan obat. Namun demikian, bila di tilik dari sisi lain akan terlihat
sebaliknya. Dalam masyarakat modern, dengan mudah dikenali bahwa salah satu
jalan keluar untuk mengatasi situasi-situasi yang menekan individu adalah
dengan penciptaan obat-obatan. Dengan demikian anak-anak jalanan itu sungguh
melakukan satu cara yang sudah disediakan oleh sistem dalam masyarakatnya.
Dalam hal ini ia betul-betul memanfaatkan guna obat untuk mengatasi berbagai tekanan
yang menimbulkan ketegangan dalam diri. Alat untuk mencapai satu kondisi
nyaman. Musik Anak-anak juga menggunakan media musik untuk meciptakan ruang
bagi dirinya untuk bersuara. Musik digunakan sebagai alat untuk memberdayakan
dirinya. Selain untuk mencari makan, bermain musik juga menjadi alat untuk
membangun solidaritas. Dalam kesempatan-kesempatan tertentu mereka memainkan
musik secara bersama-sama. Dalam kesempatan semacam inilah mereka sering
menyuarakan pandangan-pandangan mereka terhadap masyarakat seperti yang tampak
dalam syair yang dibuat oleh Dd ( 14) dan Dw ( 15): SAKSI MATA Suara letusan
samar-samar terdengar Ditengah malam yang pekat Sesosok tubuh penuh tato
Terbujur kaku di lorong gelapnya kota Reff: Sejenak jiwanya berteriak Untuk
ungkapkan rasa yang terasa Dia coba bicara kerryataan Banyak yang melihat Tak
ada saksi mata... Garis kuning di lengan baju pun puas Nanyikan lagu kekuasaan
dengan bangga dia melangkah pergi sambil berharap pangkatnya naik lagi Reff:
Sejenak jiwanya berteriak Untuk ungkapkan rasa yang terasa Dia coba bicara
keadilan Dengan pucuk pistol ... Menempel di keningnya. Secara gamblang syair
tersebut merupakan satu kritik terhadap masyarakat yang mengalami rabun ayam
terhadap peristiwa yang ada di sekelilingnya. Anak-anak ini menjadi saksi mata
atas keseluruhan sisitem masyarakat yang berjalan. Dan untuk bicara seperti itu
pun ia sadar ada pistol yang menempel di keningnya, dianggap mengancam atau
malah tidak didengar sama sekali. Kata-kata Akhir Kehidupan anak jalanan di
mulai dengan menanggalkan masa lalunya. Keberadaannya di jalan langsung akan
menghadapkan anak-anak ini pelanggaran hukum pasal 505 KUHP sekaligus akan
mendapat stempel sampah masyarakat. Dengan demikian kita layak menempatkan
tindakan-tindakan yang dipilih anak-anak sebagai satu respon aktif terhadap
peminggiran atas dirinya. Seperti yang secara sangat kasar diapaprkan di atas
tindakan-tindakan tersebut merupakan kombinasi dari kebutuhan survival,
ketetapan hati untuk menentang konformitas kultur dominan, dorongan untuk
mendapatkan ke(ny)amanan dan untuk mencapai tujuan-tujuan memperkuat kesetiaan
dalam kelompok. Salah satu strategi yang dipilih adalah cuek dalam menghadapi
kehidupan sehari-hari. Dengan menjadi cuek, anak-anak ini berupaya menahan
untuk menahan penyingkiran-penyingkran dari dunia sosial sekaligus mengalih
ubahkan keberadaannya melalui penciptaan-penciptaan makna. yang spesifik. Corak
moda kehidupan anak jalanan terutama adalah (re)aksi yang sesungguhnya tidak
memiliki kekuatan besar, namun dari posisi di pinggiran itu tetap berupaya
mengekspresikan dan menciptakan makna bagi dirinya. Dengan menyimpang dari
kultur dominannya anak-anak jalanan dengan sekuat tenaganya mempertahankan
kontrol atas dirinya sendiri dengan ekspresi "kebebasan" dan simbol
kreatifitas sekaligus menjadi ajang dari pertandingan: pemberdayaan atau
penaklukan. Pendek kata, bila bagi banyak pihak menjalani kehidupan di jalan
diietakkan sebagai "masalah", maka bagi anak-anak muda itu memilih
kehidupan jalanan sebagai satu "solusi". Paradoks semacam ini memang
akan tetap memposisikan anak jalanan di pinggiran, tetapi ia sekaligus juga
sumber kekuatan terciptanya satu sub-kultur anak muda perkotaan.
Artikel ini dipresentasikan pada Diskusi dan Pemutaran
Video "Subkultur Remaja: Underground, Skuter, PlayStation",
KUNCI Cultural Studies
Center- Lembaga Indonesia Perancis, Yogyakarta,
5 Mei 2000.
http://artikel-tentangg.blogspot.com/2012/06/anak-jalanan-subkultur.html
Oleh Kirik Ertanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar